Kupang, Kompas -
Hal itu disampaikan Kepala Balai Penelitian Kehutanan Kupang Soenarno dan peneliti utama I Komang Surata di Kupang, Senin (6/9). Balai penelitian ini membawahi seluruh Nusa Tenggara Timur (NTT).
Gaharu sebenarnya gumpalan padat berwarna coklat kehitaman yang menebarkan aroma khusus jika dibakar. Gumpalan itu terbentuk akibat terinfeksi sejenis jamur dan telah melewati proses kimiawi. Gumpalan biasanya terdapat di batang atau akar pohon tertentu, seperti jenis
”Sebenarnya gumpalan hitam itu yang disebut gaharu. Namun, masyarakat menamakan pohon penghasilnya sebagai pohon gaharu,” kata Soenarno.
Gaharu
Belum diketahui secara pasti populasi
”Pemerintah daerah perlu memberikan insentif bagi warga yang berniat serius membudidayakan gaharu,” kata Soenarno.
Menurut Komang Surata, membudidayakan gaharu relatif lebih mudah daripada cendana. Dengan perkembangan teknologi, jamur pembentuk gaharu bisa disuntikkan saat tanaman berusia enam tahun. Tiga tahun kemudian, gaharu bisa dipanen dengan kualitas dan harga jual tidak jauh berbeda dari gaharu alami.
Sebaliknya, budidaya cendana tergolong sulit karena hanya hidup di daerah gersang. ”Cendana bisa hidup di kawasan kaya humus, tetapi usianya pendek dan tidak menghasilkan aroma khas cendana,” kata Soenarno.
Cendana juga pernah tumbuh merata di NTT. Kehancuran cendana disebabkan oleh monopoli pemerintah yang mewajibkan masyarakat untuk memelihara cendana tanpa imbalan jasa. Masyarakat terancam hukuman badan jika melalaikan kewajiban. Belakangan monopoli dicabut melalui Perda NTT Nomor 2 Tahun 1999. Cendana menjadi milik masyarakat. Namun, masyarakat telanjur trauma.