Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mencari Bukti Emisi Karbon

Kompas.com - 08/06/2010, 04:22 WIB

YUNI IKAWATI


Sebagai negara tropis yang memiliki kawasan hutan terluas, Indonesia dituding sebagai pencemar terbesar gas rumah kaca terutama akibat praktik pembukaan lahan dan hutan. Untuk dapat membantah ketidakbenaran pernyataan itu, Indonesia berupaya melakukan pengukuran emisi karbonnya.

Riset mengenai perubahan iklim juga dimaksudkan untuk membuktikan kebenaran dampak yang ditimbulkan, seperti naiknya permukaan laut, munculnya bencana alam yang semakin sering (banjir, kekeringan, dan badai), kekerapan kejadian cuaca yang ekstrem dan timbulnya berbagai penyakit.

Menurut Dwi Susanto, peneliti senior di Lamont Doherty Earth Observatory of Columbia University New York Amerika Serikat, salah satu cara untuk mengetahui kondisi iklim dari ribuan tahun lalu dapat dilakukan dengan meneliti lapisan es.

Sejarah iklim dan bencana alam, jelas peneliti geologi di Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wahjoe S Hantoro, juga dapat diketahui secara tak langsung dari lingkaran dalam pohon kayu, terumbu karang, cangkang, lapisan batuan, sedimen di danau dan laut dalam, hingga stalaktit dan stalakmit di goa kapur.

Sedimen laut dalam dan danau pernah diambil di Teluk Cenderawasih dan Danau Hogayaku di Papua. Pengambilan sedimen laut dalam dilakukan dengan melibatkan peneliti Jerman menggunakan Kapal Sonne dan peneliti Perancis dengan kapal Marion Dufresne.

Es di daerah tropis

Namun, penelitian sedimen pada lapisan es di daerah tropis, kata Dwi, merupakan sesuatu hal yang sangat langka. Hanya ada tiga tempat wilayah tropis, yaitu di Kilimanjaro, Tanzania, Andes, Peru, dan Puncak Jaya Wijaya, Papua. Bahkan, lapisan es di Puncak Jaya Wijaya itu merupakan satu-satunya di dunia yang terletak di pusat kolam panas Lautan Pasifik barat. Lapisan es itu berada pada ketinggian 4.884 meter di atas permukaan air.

Penelitian awal di Puncak Jaya menunjukkan, tutupan es itu telah berkurang 78 persen sejak tahun 1936 hingga 2006. Walaupun secara umum luas tutupan es berkurang setiap tahunnya, tetapi antara tahun 1997 dan 2000 ada beberapa lokasi yang mengalami penambahan. ”Hal ini perlu diteliti lebih lanjut,” kata Dwi.

Pantauan terakhir menunjukkan, lapisan es di Puncak Jaya sudah menipis tajam. ”Diperkirakan, akibat pemanasan global, dalam dekade ke depan kemungkinan lapisan itu sudah menghilang,” ujar Dwi yang pernah menjadi peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Hal itulah yang mendasari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bekerja sama dengan Pusat Riset Es Ohio State University dan Lamont-Doherty Earth Observatory of Columbia University, serta PT Freeport Indonesia melakukan riset untuk menganalisis lapisan es tersebut guna mengetahui sejarah iklim. Ekspedisi dimulai pertengahan Mei 2010 selama sebulan.

Pengeboran lapisan es dilakukan di beberapa titik di tiga lokasi cakupan es di Puncak Jaya. Wahjoe, yang juga mengikuti ekspedisi itu, mengungkapkan, pengambilan sampel dilakukan di tiga danau, yaitu Danau Hijau, Danau Biru, dan Danau Ketel.

”Hasil analisis di laboratorium diharapkan dapat menjawab sejarah pemanasan di wilayah Indonesia dan percepatan perubahannya serta variasinya. Hasil penelitian ini bisa dibandingkan dengan hasil-hasil dari lapisan es di tempat lain,” kata Dwi.

Tim Ohio State University sudah melakukan penelitian di Puncak Andes di Peru, pada Juli 2009 dengan meneliti lapisan es di Puncak Papua dan Andes. Dari pantauan itu dapat menangkap terjadinya ayunan atau variasi perubahan iklim antara La Nina dan El Nino sejak ribuan tahun yang lalu. Menurut perkiraan, perubahan cakupan es di Puncak Papua dan Andes dipengaruhi oleh anomali suhu permukaan laut di Samudra Pasifik saat terjadi El Nino dan La Nina.

Lapisan es diperkirakan dalam mengungkap kondisi iklim masa lalu karena proses pembentukannya dipengaruhi suhu udara pada saat itu, serta menyimpan semua yang ada di permukaannya, misalnya debu dan partikel kimia di udara.

”Karena itu, lapisan es bisa dibayangkan bagaikan kue lapis di mana tiap lapisannya akan mengungkapkan kondisi iklim, suhu udara, dan kandungan kimia yang ada saat itu,” kata Dwi. Bahkan, apabila ada letusan gunung berapi pada waktu itu, debunya tersimpan di lapisan es ini sehingga dapat diketahui kapan sebuah gunung meletus.

Dari penelitian itu juga bisa diketahui percepatan perubahan pemanasan atau pendinginan di Papua dan Peru, yang berada di sepanjang garis khatulistiwa. ”Kita juga akan mengetahui apakah benar El Nino zaman dulu lebih jarang terjadi dibandingkan dengan abad ini,” kata Dwi.

Penelitian lapisan es di Puncak Jaya merupakan kontribusi Indonesia terhadap penelitian iklim dunia. Hal itu karena lapisan es di Papua, Indonesia, dan Andes, Peru, akan mengungkap sejarah iklim dunia sejak ribuan tahun lalu dan diharapkan akan sangat membantu dalam memprediksi iklim yang akan datang.

Meneliti karbon

Pengukuran kandungan karbon di tanah dan emisi karbon ke udara juga menjadi obyek penelitian di Indonesia. Untuk ini BPPT bekerja sama dengan lembaga riset Jepang untuk riset karbon di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pada Agustus nanti. Pengukuran emisi karbon itu dilakukan di lahan gambut. Demikian M Evri, pakar penginderaan jauh dari BPPT.

Untuk mengetahui deposit karbon di tanah dan pepohonan digunakan alat albometrik. Sedang pengukuran gas rumah kaca di lapisan udara tengah menggunakan dropsonde yang dijatuhkan dari pesawat terbang. Dropsonde itu dipasangi sensor pengukur gas-gas rumah kaca, termasuk karbon.

Pengukuran di lapisan udara atas menggunakan satelit Greenhouse gases Observation Satellite (Gosat) buatan Jepang yang diluncurkan 23 Januari 2009. Untuk mengukur emisi gas-gas rumah kaca, satelit optik ini dilengkapi sensor Thermal and Near Infrared Sensor for Carbon Observation (Tanso) yang dirancang Inoue gen pakar penginderaan jauh dari Jepang.

Penelitian karbon di Indonesia akan dipimpin Evri—doktor dari Universitas Gifu Jepang di bidang penginderaan jauh. Penelitian dinamika karbon di atmosfer dilakukan dengan hiperspektral.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com