Oleh Syahnan Rangkuti
KOMPAS.com — Gubuk kayu itu kini tinggal kerangka. Tidak ada lagi dinding atau atapnya. Lantai gubuk pun hanya tinggal potongan-potongan batang kayu berdiameter kecil berjejer tanpa papan di atasnya. Lokasi di sekeliling gubuk sudah terang benderang.
Hutan dengan pohon-pohon besar yang dahulu memenuhi halaman gubuk sudah tidak kelihatan lagi dan berganti dengan pohon-pohon kelapa sawit kecil yang baru ditanam. Pemandangan di depan gubuk menjadi sangat kontras tatkala bunga berwarna kuning yang ditanam Patih Laman sedang mekar-mekarnya.
Di pondok kayu itu, sekitar tiga bulan lalu, Patih Laman (90), mantan kepala suku Talang Mamak, suku asli masyarakat Riau di Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu, melakukan "protes keras" atas perusakan hutan adat sukunya untuk dijadikan kebun kelapa sawit. Laman melakukan aksi semadi di gubuk hutan itu sendirian selama tiga pekan. Hanya saja, tubuh tuanya sudah tidak bisa lagi bertahan dan Laman pun jatuh sakit.
Di tengah sakitnya, awal Maret 2010, Laman berangkat ke Pekanbaru untuk mencari dukungan wartawan dan lembaga swadaya masyarakat pemerhati lingkungan untuk mengembalikan Piala Kalpataru. Namun, ada perbedaan pendapat di kalangan LSM pemerhati lingkungan sehingga pengembalian Kalpataru itu batal.
Yang pasti, protes Laman tidak didengar. Hutan Talang Mamak sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Hutan di sekeliling gubuk yang kini sudah ditanami kelapa sawit itu adalah sebagian kecil dari hutan adat yang tersisa milik suku Talang Mamak yang semakin tidak terkendali berubah menjadi kebun sawit.
"Lebih baik saya mati ditembak bila hutan kami yang tersisa ini pun dijadikan kebun kelapa sawit," ujar Laman dengan nada sendu dan meneteskan air mata ketika meninjau gubuk itu awal pekan ini.
Air mata Laman ternyata tidak ada artinya.
Siapakah Patih Laman? Mengapa dia menangisi hutan yang hilang?
Tahun 2003, Patih Laman adalah salah seorang penerima anugerah pelestarian lingkungan hidup, Kalpataru, dari Presiden Megawati. Kalpataru itu adalah penghargaan atas kerja keras suku Talang Mamak melestarikan empat hutan adatnya, yakni hutan adat Panyabungan dan Panguanan, Sungai Tunu, Durian Cacar serta hutan adat Kelumbuk Tinggi Baner yang luasnya berkisar 1.800 hektar.
Hutan itu dahulunya sangat bagus dan indah, dipenuhi pepohonan alam, tinggi menjulang nan asri. Namun, saat Kompas mendatangi kawasan itu pada awal pekan ini, nyaris tidak ada lagi sisa keasrian hutan yang pernah mendapat anugerah Kalpataru itu. Pemandangan di sana kini tidak ubahnya seperti lokasi perusahaan perkebunan kelapa sawit. Di mana-mana yang terlihat hanya kelapa sawit dan kelapa sawit. Kalaupun ada pemandangan berbeda, sesekali terlihat pepohonan karet yang tidak tertata rapi. Tidak tampak lagi pepohonan besar, kecuali satu dua pohon sialang yang masih dibiarkan hidup tinggi menjulang di hamparan pepohonan sawit.
Kondisi hutan Panyabungan dan Panguanan sudah ditangisi Patih Laman. Hutan adat Sungai Tunu dan Desa Talang Selantai sudah hilang sama sekali. Sekarang ini yang terlihat hanya hamparan kebun kelapa sawit milik PT Selantai Agro Lestari. Di tengah-tengah hutan adat itu berdiri perumahan dan kantor perkebunan itu. Hutan adat Durian Cacar dan Kelumbuk Tinggi Baner nyaris sama kondisinya.
Hutan adat Talang Mamak memang nyaris tinggal nama saja. Padahal, pada tahun 2006, hutan itu sempat diagendakan untuk diperkuat payung hukumnya melalui peraturan daerah. Bupati Indragiri Hilir dan Ketua DPRD Inhu bahkan sempat menandatangani Surat Kesepakatan Bersama (SKB) Nomor 31 Tahun 2006 tentang Hutan Adat Suku Talang Mamak. Sayangnya, sejak SKB itu ditandatangani, tidak pernah ada lagi kelanjutan peraturan daerah yang sempat direncanakan itu. Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu pun seakan tidak peduli dengan kerusakan itu.
Patih Gading, cucu kandung Patih Laman yang kini menjadi penerus kepala suku Talang Mamak, mengatakan, hutan Talang Mamak telah menjadi korban kerakusan orang-orang yang tidak memikirkan lingkungan. Ada dua oknum yang dianggap sebagai biang keladi penjualan lahan-lahan hutan kepada orang-orang luar. Pertama adalah Kepala Desa Durian Cacar "H" dan mantan patih "Y' yang tidak lain merupakan cucu luar dari Patih Laman juga.
"Y' diberhentikan sebagai kepala suku oleh Raja Indragiri karena tidak mematuhi sumpah adat membayar utang pusaka. Meski demikian, di lapangan dia masih memiliki kekuasaan dan tidak dapat dihalangi untuk menjual lahan-lahan Talang Mamak.
"Kami sudah melaporkan kasus penjualan hutan Talang Mamak itu kepada polisi. Sayangnya belum ada kelanjutan kasus itu. Saya berharap orang-orang itu dapat dihukum. Bagi Talang Mamak, saudara tidak perlu dibela bila melanggar adat apalagi aturan hukum," tutur Laman.
Seorang teman bertanya, apa yang mesti dilakukan oleh Patih Laman selanjutnya?
Kembalikan saja Piala Kalpataru itu. Untuk apa lagi memegang Piala Kalpataru, sementara hutan yang mendapat penghargaan itu sudah nyaris punah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.