Cibinong, Kompas -
”Survei terbaru menunjukkan, populasi orangutan semakin berkurang,” kata Deputi Koordinator Orangutan Conservation Service Program (OCSP) Regional Sumatera Pahrian Siregar, Sabtu (10/4) di Tapos, Kabupaten Bogor.
Siregar mengatakan, habitat orangutan Sumatera (Pongo abelii) kini tinggal tersisa di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara. Habitat itu pun semakin sempit karena terancam kegiatan pertambangan, hak pengusahaan hutan (HPH), pembalakan liar, dan perkebunan kelapa sawit.
Saat ini, Taman Nasional Leuser seluas 1 juta hektar menjadi habitat sekitar 6.000 orangutan. Kawasan seluas 213.000 hektar di Pantai Barat Sumatera menjadi habitat bagi sekitar 1.940 orangutan.
Namun, diperkirakan, orangutan di kedua habitat yang berdekatan itu sesungguhnya orangutan yang sama karena orangutan selalu berpindah-pindah. Kawasan Batang Toru dan Dairi-Pakpak menjadi habitat bagi sekitar 650 orangutan. ”Kepastian jumlah populasi memang sulit didapatkan, tetapi secara total populasi orangutan Sumatera tinggal sekitar 7.400,” kata Siregar.
Koordinator OCSP Regional Kalimantan Irfan Bakhtiar mengatakan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) diperkirakan tinggal sekitar 54.567 ekor, yang tersebar di Sabah (11.017 ekor), Kalimantan Timur (4.825), Kalimantan Tengah (34.975), dan Kalimantan Barat serta Serawak (7.425).
”Habitat Pongo pygmaeus morio di Kalimantan Timur, habitat Pongo pygmaeus wurmbii di
Spesialis Kebijakan Konservasi OCSP Regional Kalimantan Niel Makinuddin menyatakan, meski Pongo pygmaeus merupakan spesies dilindungi, tetapi tidak ada kebijakan untuk melindungi habitat Pongo pygmaeus. Sekitar 70 persen habitat orangutan di Kalimantan Timur belum ditetapkan sebagai kawasan yang dilindungi.
”Beberapa habitat orangutan memang menjadi kawasan hutan lindung atau kawasan konservasi. Masalahnya, tidak semua habitat Pongo pygmaeus sudah berstatus hutan lindung atau kawasan konservasi. Meski Pongo pygmaeus adalah hewan dilindungi, nyatanya habitat Pongo pygmaeus tidak dilindungi dan terus berkurang akibat pembalakan ataupun kebijakan penanaman monokultur. Otonomi daerah juga membuat kawasan habitat terpotong-potong wilayah administrasi pemerintahan daerah, menjadi pulau-pulau habitat,” kata Niel.