Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mari Mengenal Penyakit "Lupa Berat"

Kompas.com - 07/04/2010, 14:16 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Ada hal menarik di tengah upaya Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengungkap kasus penyuapan berupa pemberi cek perjalanan senilai Rp 24 miliar kepada puluhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004 terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom.

Ya, salah satu saksi kunci yang diharapkan bakal menjadi pangkal dari terbongkarnya kasus ini dikabarkan sakit. Saksi penting itu mengaku sakit lupa berat dan mangkir dari panggilan pengadilan. Dia adalah Nunun Nurbaeti Daradjatun, seorang pengusaha yang dikabarkan menjadi cukong dari dana miliaran itu. Istri mantan Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal (Purn) Adang Daradjatun itu mengalami kombinasi sakit lupa berat, migrain, dan vertigo.

Bagaimana tinjauan medis terhadap penyakit lupa berat ini? Ahli saraf dari RS Islam Cempaka Putih, Jakarta, Dr Samino, mengatakan, pada dasarnya, seiring dengan bertambahnya usia, risiko seseorang mengalami demensia atau pikun pun semakin bertambah. Kondisi ini sangat jarang menyerang orang muda dan bahkan tak lazim diderita orang berusia paruh baya.

"Pada orang usia 60-an memang mulai mengalami penurunan daya ingat, tapi lupa-lupa yang sifatnya ringan saja. Misalnya lupa tadi ngobrol apa dengan temannya," papar dr Samino saat dihubungi Kompas.com.

Menurut dia, orang yang menderita pikun pada umumnya mengalami gangguan short term memory (ingatan jangka pendek). Misalnya, lupa meletakkan kacamata atau lupa tadi siang makan dengan sayur apa. "Ini adalah lupa ringan yang terkait dengan proses penuaan," ujarnya.

Lebih jauh, dari kelompok orang yang jadi pelupa karena faktor usia ini, 20 persennya bisa berkembang menjadi demensia alzheimer, terutama bila usianya sudah mencapai 75 tahun. Penyakit alzheimer adalah penyakit otak degeratif yang progresif, tidak sekadar sering lupa.

Penyakit ini diawali dengan hilangnya sedikit memori dan rasa bingung dan secara bertahap akan memburuk dan mengakibatkan penurunan fungsi mental sehingga menghilangkan kemampuan seseorang untuk mengingat, menalar, belajar, serta merencanakan masa depan.

"Gangguan memori bisa berkembang menjadi gangguan bicara, bahasa, membuat keputusan, bahkan lambat laun bisa disertai gangguan psycho behaviour berupa depresi, jadi paranoid, serta denial," papar dokter yang menjabat sebagai Ketua Asosiasi Alzheimer Indonesia ini.

Penyebab demensia dibedakan menjadi dua kelompok, yakni penyebab primer alzheimer (50-70 persen) dan penyebab sekunder yang diakibatkan oleh cedera kepala, infeksi otak, keracunan, kekurangan vitamin tertentu, serta gangguan metabolik.

"Risiko seseorang terkena demensia berbeda-beda, tergantung dari genetika, gaya hidup, pengalaman hidup pribadi, serta faktor riwayat penyakit, apakah ia menderita diabetes, hipertensi, atau stroke," tutur Samino.

Ia menambahkan, demensia yang disebabkan oleh faktor sekunder keparahan penyakitnya bersifat lambat. "Pelan tapi pasti daya ingatnya merosot terus," katanya.

Diagnosis penyakit demensia harus dilakukan secara tepat. "Orang yang diduga menderita demensia seharusnya melalui assesment cukup ketat, melalui beragam tes dan pemeriksaan sehingga bisa didapat hasil yang akurat apakah orang ini sudah jatuh pada stadium demensia atau hanya lupa biasa," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com