Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tinjau Ulang Privatisasi Air

Kompas.com - 22/03/2010, 20:58 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -  Air bersih merupakan hak setiap warga, namun hanya sebagian kecil warga yang bisa menikmatinya. Di Sukabumi, hanya16 persen warga yang punya akses air bersih, sebagian besar sumber air bersih dikuasai perusahaan air kemasan . Ancaman krisis air bersih sudah di depan mata, karena itu privatisasi air bersih harus ditinjau ulang.

Demikian dikatakan Ketua Umum Vanaprastha Adhyaksa Dault pada diskusi terbuka Air Bersih adalah Hak Setiap Warga, Senin (22/3/2010) di Jakarta. Vanaprastha sebagai organisasi yang konsern dengan kelestarian dan kelanjutan hidup dan planet ini, akan menggugah pembuat keputusan, pebisnis, dan warga dunia untuk meninjau ulang dan memberlakukan regulasi yang lebih ketat dan adil serta berprilaku bijak dan bertanggung jawab dalam menggunakan air dalam kehidupan sehari-hari, katanya.

Bekerjasama dengan Parfi, diskusi menghadirkan Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Sumarto, dan Koordinator Perubahan Cuaca WWF Indonesia. Chrisandini, dan artis Ray Sahetapi.

Adhyaksa menjelaskan kondisi Indonesia yang sudah mendekati krisis air. Dari data penelitian Walhi, 125 juta (65 persen) penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa yang kapasitas kandungan airnya hanya 4,5 persen saja. Kemudian, 60 dari 470 Daerah Aliran Sungai yang ada di Indonesia dalam kondisi krisis. Data lain dari Kompas, 85 persen sumur di Jakarta tercemar bakteri e-coli. Hanya 40 persen warga perkotaan dan 30 persen warga pedesaan yang tersambung jaringan PAM.

Sumarto mengatakan, lebih dari 20 perusahaan air dalam kemasan yang berada di hilir Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (Bogor dan Sukabumi) memanfaatkan potensi air dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) , yang menghasilkan 231 miliar liter per tahun. Keberadaan TNGGP menguntungkan perusahaan air dalam kemasan. "Akses masyarakat terhadap air bersih menjadi terbatas. Walau belum pernah memberikan kontribusi untuk konservasi TNGGP, namun perusahaan air dalam kemasan diharapkan bisa melestarikan air," katanya.

Menurut Sumarto, perkembangan pembangunan wilayah Bogor, Sukabumi dan Cianjur sebagai daerah belakang DKI Jakarta, khususnya di bidang property/perumahan, infrastruktut, agribisnis, dan wis ata pegunungan/hutan, cenderung menekan kawasan konservasi.

Chrisandini yang berbicara tentang pemanasan global mengingatkan bahwa dampak pemanasan global semakin mencemaskan. "Terjadinya perubahan iklim, naiknya suhu, menimbulkan bencana di sejumlah negara. Indonesia harus menjaga keseimbangan lingkungan, yang kini dalam ancaman," ujarnya.

Anhar Jamal, Ketua Penyelenggara Peringatan Hari Air Sedunia dari kelompok Vanaprastha pegiat alam terbuka dan aktivis lingkungan, mengatakan , kemampuan bumi dalam menyediakan air berbanding terbalik dengan kebutuhan penghuni planet ini akan air.

"Karena itu, selain menggelar diskusi terbuka, Vanaprastha yang sudah berkiprah sejak 30 tahun lalu, juga menggelar kampanye penyadaran, dalam bentuk himbauan simpatik dalam bentuk spanduk, brosur, dan aksi teaterikal yang berisi pernyataan, ajakan, dan himbauand alam mengelola dan penggunaan air di Bundaran Hotel Indonesia," katanya.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com