JAKARTA, KOMPAS.com -
Kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan ini harus dibatalkan karena jelas-jelas menyimpang dengan pernyataan pemerintah di pertemuan dunia tentang perubahan iklim di Kopenhagen, Denmark, Desember tahun lalu. Pada forum dunia itu Susilo Bambang Yudhoyono menargetkan pengurangan karbon, terutama dari hutan sebagai penyerap karbon.
Hal ini dikemukakan Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi Sabtu (20/3/2010).
Greenomics Indonesia, ujarnya, mengecam keras izin tersebut yang diberikan pada 2008 dengan luas areal seluas 206.800 hektar. ”Dari luasan izin 206.800 hektar itu, hanya 56.104 hektar berupa tanah kosong, padang alang-alang, serta belukar,” ujar Elfian.
Sebagian besar, yaitu 150.696 hektar, lahan itu adalah hutan alam primer. Dari 150.696 hektar tersebut, hanya 23.774 hektar yang tidak dieksploitasi karena dinilai sebagai areal koridor satwa. Selebihnya, 120.939 hektar hutan primer, dikonversi menjadi areal HTI.
Elfian atas nama Greenomics mendesak Menteri Kehutanan saat ini, Zulkifli Hasan, untuk meninjau kembali pemberian izin HTI pada areal hutan primer tersebut dan segera membatalkannya.
Di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Nordin, Direktur Eksekutuif Save Our Borneo (SOB), mengatakan, penebangan hutan untuk industri perkayuan atau konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit dan penambangan batu bara tidak hanya merusak lingkungan, tetapi merugikan keuangan negara lebih dari Rp 119,9 miliar. Kerugian negara itu berupa tunggakan para pengusaha pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) atau pemegang izin pemanfaatan kayu (IPK).