Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Elegi Buruh Pemburu Harta Karun

Kompas.com - 19/03/2010, 08:12 WIB

Oleh Boni Dwi Pramudyanto

KOMPAS.com - Siang hari pada pertengahan Februari lalu, langit di atas Sungai Musi, Kota Palembang, tampak kelabu. Gumpalan awan hujan Cumulonimbus datang berarakan dari timur ke barat, melaju cepat terkena embusan angin kencang.

Namun, cuaca yang kurang bersahabat tidak menggentarkan hati Cholil (32), Doni (22), Nasir (19), Firman (32), dan rekan-rekannya. Bersama dua cukong pemilik kapal, belasan buruh selam itu tampak sibuk menyiapkan tali, kompresor, masker selam, sekop, karung goni, dan berbagai peralatan selam tradisional.

Dengan rasa penasaran, Kompas pun mendekati dua perahu yang berdampingan tertambat di tengah Sungai Musi di kawasan perairan 7 Ulu tersebut. Mereka sepertinya tidak peduli dengan cuaca saat itu yang kurang bersahabat dengan keadaan air sungai yang berarus deras.

Kalau nak jujur, tentu bae kito ni takut. Tapi mak mano lagi, man idak begawe dapur dak pacak ngebul—Sejujurnya saya takut. Tapi mau apa lagi. Jika tidak bekerja, dapur tidak bisa mengepul,” demikian diutarakan Firman, seorang penyelam.

Firman (32) yang tinggal di Kampung Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir, tersebut mengungkapkan, aktivitas menyelam sudah digeluti sejak tiga tahun silam. Setiap hari, dia memperoleh upah berkisar Rp 25.000 hingga Rp 50.000 dari si cukong.

Man katik asil nian, pacak idak dibayar. Man asil sedikit, dibayar upah kecik Rp 25.000. Man asilnyo banyak, pacak dapat Rp 50.000—Jika tanpa hasil, cukong tidak membayar sepeser pun. Jika hasil sedikit, dibayar Rp 25.000. Kalau banyak, dibayar Rp 50.000,” kata Firman.

Lalu, apa sesungguhnya yang dicari di dasar Sungai Musi tersebut? Irawan si cukong kapal mengaku, barang yang dincar bervariasi, mulai dari besi rongsokan, uang kuno, dan barang timah-tembaga. ”Syukur-syukur bisa menemukan perhiasan emas-perak,” ujarnya.

Cholil Yahmad (41), cukong perahu lainnya, mengakui mencari barang rongsokan ini hanya menjadi alasan agar tidak terlalu mencolok. Sebenarnya, para cukong dan buruh selam itu sungguh berharap bisa memperoleh benda berharga.

”Pas untung, harta karun bisa didapat, misalnya perhiasan emas sampai arca emas. Ada beberapa kawan saya yang langsung kaya raya karena menemukan benda-benda berharga tersebut,” katanya.

Cholil juga menceritakan ada sekelompok cukong dan buruh selam berasal dari Kelurahan Tangga Buntung pernah menemukan satu buah patung emas pada pertengahan 2009. Setelah dibawa pulang dan ditawarkan, patung itu dibeli pengusaha Tionghoa yang berdomisili di Singapura seharga Rp 8 miliar.

”Setelah uang didapat, semua buruh selam langsung dibelikan rumah oleh si cukong, masing- masing memperoleh satu unit,” katanya.

Meski informasi itu belum teruji kebenarannya, cerita penemuan ini langsung menyebar ke masyarakat. Hal itu kemudian mendorong pemburu harta karun berbondong-bondong melakukan hal serupa di Sungai Musi.

Aktivitas penyelaman mencari harta karun di Sungai Musi biasanya bertambah marak selama kemarau. Pertimbangannya, saat itu arus sungai tidak deras dan permukaan air surut.

Koin kuno

Di tengah-tengah pembicaraan dengan cukong dan sejumlah buruh selam, tiba-tiba seorang penyelam kembali ke permukaan dengan membawa satu karung yang sudah terisi penuh.

Setelah membantu si penyelam naik ke perahu, mereka lalu menuangkan isi karung goni itu ke dalam bak terbuka yang sudah disiapkan. Tidak lama kemudian, lima buruh langsung menyiram isi karung dengan air untuk menghilangkan kotoran.

Saat itu penyelam sangat beruntung. Dia mendapatkan sejumlah benda bernilai sejarah, seperti koin kuno dari berbagai zaman (Sriwijaya-VOC-kesultanan-kolonial), pusaka keris dan badik kuno, pecahan arca tembaga, peluru timah, dan pecahan-pecahan keramik atau tembikar.

Barang-barang itu, menurut cukong Cholil, bakal dijual di pedagang loak. Khusus untuk logam tembaga dilepas seharga Rp 30.000 per kilogram, besi Rp 25.000 per kilogram, dan timah seharga Rp 9.000 per kilogram.

”Khusus uang kuno ini biasanya dikumpulkan dulu. Setelah cukup banyak, baru dijual sehingga uang yang didapat juga lebih banyak,” katanya.

Kompas juga sempat menelusuri Pasar Cinde dan Pasar 16 Ilir untuk mencari lokasi penjualan koin kuno. Namun, setelah menanyakan kepada sejumlah pedagang, tidak ada seorang pun yang tahu perihal jual-beli koin kuno tersebut.

Dilarang

Sebenarnya sejak awal tahun 2009, Pemerintah Kota Palembang resmi melarang aktivitas penyelaman. Namun, para pemburu harta karun tetap nekat. Untuk mengelabui petugas terkait, lokasi penyelaman selalu berpindah-pindah.

Kawasan yang paling sering dijadikan ajang menyelam antara lain perairan Tangga Buntung, Benteng Kuto Besak, Pusri-Pertamina, 16 Ilir, dan sepanjang perairan Musi di Kota Palembang.

Menurut Retno Purwanti, arkeolog dari Balai Arkeologi Kota Palembang, aktivitas perburuan harta karun di Sungai Musi tak hanya ilegal, tetapi juga mengancam pelestarian aset sejarah. Sejak era Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Palembang Darussalam, penjajahan kolonial, hingga masa pascakemerdekaan, Sungai Musi memang menjadi lalu lintas niaga.

”Setidaknya, keberadaan barang bersejarah di dasar sungai membuktikan teori itu. Logikanya, barang ini berasal dari aktivitas kapal niaga yang karam,” katanya.

Arkeolog Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Bambang Budi Utomo, menegaskan, pemburuan harta karun harus segera dihentikan. Alasannya, barang-barang itu merupakan aset sejarah yang harus dilestarikan.

”Tidak bisa secara sembarangan dipindahtangankan apalagi hanya dijual secara kiloan,” katanya.

Retno Purwanti mengaku sudah mengidentifikasi beragam benda bernilai sejarah yang ditemukan dalam aktivitas penyelaman tersebut, antara lain botol merkuri, uang timah, uang tembaga, arca, dan perhiasan emas-perak.

Melihat fakta tersebut, Retno berpendapat bukan tidak mungkin kabar penemuan arca emas itu benar. Hal ini mengacu pada fakta sejarah bahwa Kerajaan Sriwijaya yang berdiri di Kota Palembang sejak abad ke-9 hingga abad ke-12 memang merupakan kawasan penghasil emas.

”Emas tersebut mungkin saja diperdagangkan secara lintas wilayah. Beberapa mungkin tenggelam di dasar Sungai Musi karena karam atau ada alasan lain,” katanya.

Dengan demikian, Retno menyimpulkan bahwa salah satu jalan yang bisa dilakukan untuk mencegah praktik penyelaman tersebut adalah dengan membangun sinergi dan upaya terpadu. Gerakan penyelamatan sekaligus penertiban bisa dimotori dinas pariwisata-kebudayaan bekerja sama dengan kepolisian.

Arkeolog juga perlu dilibatkan karena mampu membantu pengungkapan nilai sejarah dan cara penyelamatannya. Inilah pekerjaan rumah yang perlu segera tertuntaskan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com