Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rumitnya Relasi dalam Perkawinan

Kompas.com - 01/02/2010, 13:07 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Berbagai ekspresi ditampilkan oleh mereka yang mengawali perkawinan. Mereka yang menikah tanpa dilandasi cinta tentu tidak sesumringah yang menikah dengan penuh bunga cinta. Namun, awal tidak menjamin akhir.

Perkawinan yang diawali dengan rasa bahagia belum tentu berakhir bahagia. Banyak di antaranya kandas, dalam waktu cepat atau lambat, dengan berbagai alasan. Relasi perkawinan memang rumit, dan kita harus mengusahakan keharmonisannya.

Perkawinan merupakan sebuah lembaga masyarakat yang unik. Berbeda dengan lembaga lain, di dalam keluarga, ikatan emosional anggota sangat kuat, namun sekaligus sangat rapuh. Seperti lembaga lain, di dalamnya berkembang adat istiadat, tata kelakuan, kebiasaan yang tergabung dalam satu unit fungsional.

Unit fungsional keluarga ini memiliki peran sangat penting. Kita tahu, sehat atau tidaknya sebuah masyarakat sangat ditentukan oleh sehat atau tidaknya keluarga-keluarga di dalam masyarakat tersebut.

Sungguh sayang, tidak semua keluarga dapat mengembangkan adat istiadat, tata kelakuan, dan kebiasaan yang sehat. Sebuah keluarga yang sehat hanya mungkin dibangun oleh anggota-anggota yang relatif matang dan mau berproses menjadi matang secara emosional bersama pasangan. Hal ini karena berbagai kesulitan yang muncul memicu gejolak emosi.

Kesulitan dapat muncul karena berbagai situasi, dan juga perbedaan adat istiadat, tata kelakuan, dan kebiasaan yang dibawa oleh masing-masing anggota (suami, istri). Karena selalu ada perbedaan, penyesuaian diri untuk mengembangkan relasi yang harmonis antara suami dan istri seringkali tidak mudah.

Sungguh sangat memerlukan toleransi tiggi satu sama lain, keinginan untuk memahami satu sama lain, dan komunikasi yang setara. Itulah sebabnya mengapa kematangan emosional menjadi sangat penting.

Cermin
Belum lama ini sebuah surat kabar ibu kota melansir sebuah penelitian yang menyatakan bahwa 40 persen wanita di Jakarta mengaku telah berselingkuh. Lepas dari validitasnya yang masih perlu dipertanyakan, hasil penelitian ini mengejutkan.
Ini cukup runyam, mengingat bahwa selingkuh yang umumnya dianggap sebagai kebiasaan pria, ternyata juga dilakukan para wanita. Artinya, selingkuh sudah sangat marak.

Selain merupakan persoalan moral, hal yang sungguh disayangkan adalah ini merupakan cermin adanya masalah dalam perkawinan. Terkesan masyarakat modern saat ini semakin jauh dari ketekunan merawat hubungan perkawinan yang sehat.

Tengoklah berita-berita infotainment di TV, juga dalam peristiwa di sekeliling kita, atau bahkan pengalaman pribadi. Masalah dalam perkawinan sepertinya semakin tajam, menyeruak di antara berbagai masalah dalam masyarakat kita.

Mengapa perkawinan dapat membuat seseorang berubah sedemikian rupa? Apa yang menjadi penyebab ketidakharmonisan dalam perkawinan?  

Pemahaman Utuh
Sebelum menengok sebab-sebab ketidakharmonisan, ada hal yang harus dicatat untuk memahami persoalan dalam perkawinan, yakni bahwa masalah berkembang dalam interaksi, sehingga analisis masalah tidak dapat difokuskan hanya terhadap salah satu pihak, melainkan harus dua belah pihak.

Dengan kata lain, harus disadari bahwa output masalah merupakan produk dari interaksi timbal balik dua belah pihak. Jadi terlalu gegabah bila kita menyalahkan salah satu pihak, atau mengklaim yang menjadi sumber masalah Si A atau B.  

Menunjuk hidung pihak lain memicu konflik menjadi lebih tajam karena akan menimbulkan perasaan diri sebagai korban. Ketika merasa diri korban, yang ada adalah dendam. Begitu pula bila merasa diri paling benar, akan menimbulkan rasa ketidakadilan dari pihak lain. Bila demikian, jalan untuk rekonsiliasi menjadi lebih sempit, bahkan bisa tertutup.

Sikap yang terbaik adalah mencoba memahami masalah secara objektif dan utuh berdasarkan perspektif diri maupun pihak lain (pasangan). Adanya pemahaman yang utuh akan membuat hati kita menjadi lebih ringan, dan lebih penting lagi memberikan rasa keadilan bagi dua belah pihak.

Kesadaran bahwa masing-masing pihak memiliki andil atas terjadinya masalah, akan memberikan semangat untuk bersama-sama bangkit memperbaiki hubungan, dan bersama-sama pula bergerak menjadi pribadi yang semakin matang dan bijaksana.

Kesediaan memahami masalah dari perspektif orang lain merupakan bentuk
kemampuan untuk keluar dari egosentrisme. Semakin mampu seseorang  memberikan empati atau mengambil perspektif orang lain (perspective taking), berarti ia semakin mampu untuk mencintai secara benar.

Rawannya Percintaan
Berkembangnya saling ketergantungan dalam hubungan percintaan dan memasuki tahapan hubungan yang semakin erat, pada satu sisi menjawab kebutuhan emosional satu sama lain. Di sisi lain, dapat berarti bentangan masalah yang menimbulkan ketegangan-ketegangan.

Berikut beberapa hal yang sangat mungkin timbul seiring dengan berkembangnya komitmen.

* Kecewa
Orang yang saling mencinta biasanya mengidealkan partnernya, namun akhirnya menemukan partnernya tidak seideal yang diangankan. Mungkin seseorang menemukan pasangannya tidak sensitif, tidak penuh perhatian, atau tidak secerdas yang dibayangkan. Yang lain menemukan rencana masa depan pasangan sangat berbeda dengan dirinya. Dalam keadaan demikian, memenuhi kebutuhan pasangan dirasa sebagai pengorbanan, sehingga memicu konflik.
Untuk mengantisipasi keadaan seperti ini, langkah yang paling tepat adalah mencoba realistis, menerima pasangan apa adanya, dan justru saling membangun dalam kebersamaan.

* Timbulnya kebohongan
Menurut Deaux dkk. dalam bukunya Social Psychology in the ‘90 (1993), meningkatnya ketegangan akibat berkembangnya komitmen ini memicu timbulnya pola-pola kebohongan tertentu. Kebohongan dapat dimaksudkan untuk melindungi konsep diri atau untuk mendapatkan respon yang menyenangkan (rewards).
Dalam hubungan yang lebih lama, kebohongan lebih sering digunakan untuk melindungi hubungan itu sendiri. Kebohongan untuk melindungi hubungan, lebih sering berupa usaha menyembunyikan informasi, bukan memberikan informasi yang salah. Misalnya, tidak memberitahukan adanya kartu ulang tahun dari mantan pacar demi menjaga harga diri pasangan.  

Apa pun motifnya, kebohongan dapat memicu kecurigaan atau prasangka yang justru jauh lebih membahayakan hubungan. Pasangan dapat terhindar dari kebohongan satu sama lain bila masing-masing pihak dapat memberikan rasa aman terhadap pasangan dengan sikap dasar menerima pasangan apa adanya.

Sebaliknya, kebohongan akan mudah berkembang bila ada pihak yang kurang merasa aman dalam hubungan dengan pasangan, baik karena kurang percaya diri ataupun adanya tekanan yang dirasakan dari pasangan (sikap menguasai, ancaman putus hubungan, dan sebagainya).

* Cemburu
Kerawanan lain yang mungkin timbul akibat berkembangnya komitmen adalah tumbuhnya rasa cemburu. Seorang penulis dari Perancis, La Roche Foucauld, menyatakan, “Cemburu itu selalu lahir bersamaan dengan lahirnya cinta”. Namun, beberapa riset menemukan bahwa faktor umum dari cemburu yang sangat kuat adalah keinginan untuk meraih hubungan yang eksklusif dan perasaan ketidakcakapan (inadequacy).

Cemburu dapat sangat membahayakan hubungan, terutama bila dilandasi dengan kondisi emosional yang sangat kuat: cenderung irasional dan disertai prasangka negatif yang sangat kuat (cemburu buta).

Terdapat perbedaan penyebab cemburu antara pria dan wanita. Pada pria, cemburu lebih sering berkaitan dengan harga diri. Sebaliknya, pada wanita lebih didasari oleh ketergantungan yang kuat. Itu sebabnya respon terhadap cemburu berbeda.

Sebuah riset menemukan, pria umumnya memberikan reaksi marah dan justru melakukan aktivitas yang membahayakan hubungan. Pada wanita umumnya depresif dan melakukan sesuatu untuk meningkatkan hubungan itu sendiri.

Cemburu sebagai perwujudan cinta, pada satu sisi merupakan bumbu romantisme. Namun, bila cemburu buta terjadi, nyata-nyata membahayakan hubungan. Cemburu terhadap pasangan dapat lebih ringan bila masing-masing telah mengembangkan konsep diri yang positif dan saling menghargai. Dengan demikian, pihak pria tidak lagi dikungkung oleh masalah harga diri dan pihak wanita menjadi lebih independen, terhindar dari ketakutan berlebihan akan kehilangan pasangan.

Perkembangan Masalah
Munculnya problem kekecewaan (kenyataan tidak sesuai angan-angan), problem harga diri, atau takut kehilangan pasangan merupakan konsekuensi berkembangnya komitmen. Selanjutnya melalui interaksi problem tersebut dapat semakin membesar, seperti setitik api mendapat siraman bensin.

Tentu tidak selalu demikian. Ada juga pasangan-pasangan yang akhirnya mampu mengembangkan rasa saling percaya, sehingga hubungan mereka menjadi sumber kebahagiaan.

Semoga semakin banyak pasangan yang mampu mengembangkan keserasian dalam hubungan perkawinan! @

M.M Nilam Widyarini, M.Si
Kandidat Doktor Psikologi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com