Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bumi "Berumur Panjang" Jika Konsumsi Daging Dikurangi?

Kompas.com - 02/12/2009, 07:56 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS.com -  Siapa menyangkal bahwa gas CO2 (karbondioksida) salah satu penyumbang besar pemanasan global? Siapa membantah bahwa konsentrasi gas CO2 terus bertambah? Tapi siapa yang tahu seberapa parah konsentrasi gas itu di atmosfer, dan sampai kapan bumi ini bertahan?

Coba simak laporan terbaru Lord Nicholas Stern (Ketua Institut penelitian Grantham Urusan perubahan iklim dan lingkungan di Inggris, juga profesor ekonomi, dan kepala ekonom di Bank Dunia). Lord Nicholas menyebut konsentrasi CO2 dan gas rumah kaca lain (atau diistilahkan CO2e) di atmosfer saat ini 435 part per million  (ppm).

Sebanyak 77 persen gas rumah kaca di atmosfer, disumbang CO2. Metana 14 persen, dan N2O delapan persen.  Kekuatan metana, sebagai informasi, 100 kali dampak CO2.

Padahal menurut laporan ilmiah dari National Oceanic and Atmosphere Administration (NOAA) di AS, November 2008 lalu, konsentrasi CO2e masih 385 ppm. Angka yang ini saja, menurut Science -jurnal imiah internasional- sebenarnya sudah angka tertinggi selama 650.000 tahun. Ppm ini, didefinisikan sebagai kepekatan gas yang  memerangkap panasmatahari.

Mengutip pernyataan dari James Hansen, direktur NASA Godart Institute (divisi penerbangan luar angkasa), bila manusia berada di tingkat 450 ppm cukup lama, maka kemungkinan seluruh es di kutub akan mencair. Dan itu  artinya air laut dunia naik 75 meter.

Para ilmuwan dunia memperkirakan rata-rata kenaikan level CO2e mestinya hanya 2 ppm per tahun. Itu artinya level CO2e pada November 2009 di atmosfer hanya 387 ppm.Tapi kenyataan, hanya setahun, level CO2e mencapai 50 ppm.

Kembali ke perkiraan James, pertanyaannya adalah: untuk sampai ke level 450 ppm, hanya perlu berapa tahun atau berapa bulan, atau berapa pekan, jika tak ada apapun usaha manusia mengurangi gas rumah kaca?

Dengan perkiraan ilmuwan NASA lainnya, Jay Zwally pada Desember 2007 lalu, es di kutub utara dapat habis di akhir musim panas 2012. Es itu berfungsi memantulkan 80 persen panas matahari. Tanpa adanya kutub, matahari akan masuk 90 persen ke bumi, jauh melebihi panas seharusnya yang mestinya hanya 20 persen.

Jay menegaskan bahaya serius kepunahan massal akibat pemanasan global yang tak terkendali. Jay mewakili NASA sudah "berteriak" dan itupun dua tahun lalu. Artinya, jika ditarik ke depan, melihat level CO2e yang meroket, bukankah masuk akal jika kecemasan Jay bisa terjadi lebih cepat.

Sekarang, coba kita cermati penyebab pemanasan global. Tahun 2006, FAO (badan di bawah PBB yang membidangi pangan dan pertanian) merilis laporan bahwa peternakan menyumbang 18 persen pemanasan global. (Sebagai perbandingan, gabungan semua moda transportasi di dunia hanya memberi kontribusi 13,5 persen).

Namun pada November 2009, dua ilmuwan bank dunia yakni Peter Goodland dan Jeff Anhang-dalam jurnal yang dikeluarkan World Watch Institute-merevisi angka 18 persen tadi, menjadi 51 persen. Dan itupun belum memasukkan perhitungan bahwa kekuatan metana 100 kali CO2.

"NASA, World Watch Institute, dan NOOA adalah institusi/lembaga profesional, independen, dan data datanya menjadi acuan banyak lembaga internasional. Mereka juga memakai data data dari lembaga terpercaya seperti FA0," ujar Agustinus Madyana Putra, pemerhati lingkungan yang juga dosen arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Lantas, apa solusi agar pemanasan global bisa diicegah? Dari data tadi, gampang ditebak, kita mesti mengurangi jauh konsumsi daging. Sehingga dampak peternakan berkurang, plus kita lebih sehat. Memang tentu saja, imbauan mengurangi daging tidak populer di Indonesia. Bahkan dianggap berlebihan. Tapi apakah kita ingin bumi ini rusak dan anak cucu kita terancam kehidupannya?

Pikirkan dampak peternakan dan daging, tak hanya semata menyorot dan berkomentar 'tanpa dasar' bahwa ini ulah kaum vegetarian dalam mendoktrin. Ini sudah tentang bahwa manusia harus melakukan sesuatu dengan tepat dan cepat agar anak cucu kita bisa mengenyam kehidupan indah di bumi. "Saya hanya mengatakan, kebiasaan makan daging berkorelasi erat dengan pemanasan global," kata Agus.

Agus berharap para ilmuwan, bahkan Presiden SBY mau menengok data data tersebut dan melakukan sesuatu, minimal imbauan mengurangi daging. Masihkah para ilmuwan Indonesia mengatakan bahwa peternakan negeri ini tak ada hubungannya dengan peternakan global, padahal semua manusia tinggal di bumi yang sama?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau