Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Diet Karbon" Melalui Hemat Energi

Kompas.com - 02/12/2009, 06:18 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Green Festival 2009 ingin memopulerkan istilah ”diet karbon” sebagai bagian gaya hidup adaptif dan merupakan langkah mitigasi terhadap dampak pemanasan global. Diet karbon, salah satunya, bisa dilakukan melalui langkah hemat energi.

”Diet karbon untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global,” kata Ketua Panitia Green Festival 2009 Nugroho Ferry Yudho, Selasa (1/12) di Jakarta.

Nugroho mengatakan, Green Festival atau Greenfest menunjang hal-hal aplikatif yang dapat dilakukan setiap orang. Diet karbon melalui hemat energi dapat dilakukan dengan menghemat listrik, yang hingga kini sebagian besar masih diproduksi dengan bahan bakar fosil.

Diet karbon melalui hemat listrik banyak ragamnya. Mengganti komputer personal dengan komputer jinjing yang dapat menyimpan arus listrik, menurut Nugroho, bisa menghemat listrik sampai 80 persen.

Posisi standby televisi, pengatur suhu (AC), komputer, atau alat-alat elektronik lainnya masih menggunakan listrik 5 watt. Akan berbeda halnya jika dimatikan atau dicabut koneksi listriknya. Tindakan menghemat listrik seperti ini menjadi salah satu diet karbon.

Diet karbon tidak hanya dengan cara menghemat penggunaan energi atau listrik. Namun, diet karbon juga dapat diwujudkan dalam hal memproduksi energi atau listrik secara ramah lingkungan.

”Masyarakat agar menerapkan energi alternatif yang ramah lingkungan dan pemerintah perlu didorong menciptakan sistem insentif yang menarik,” kata Nugroho.

Dia mencontohkan, listrik dari sel surya semestinya mendapatkan insentif pemerintah. Dalam hal ini, listrik sel surya yang tidak digunakan seharusnya dapat dibeli PLN dengan sistem meteran yang berputar terbalik atau mundur. ”Meteran mundur itu untuk mengurangi jumlah beban listrik yang dibeli dari PLN,” kata Nugroho.

Listrik dari sel surya secara otomatis dihasilkan pada siang hari. Saat ini listrik sel surya itu biasanya disimpan terlebih dahulu ke dalam baterai.

Pada malam hari listrik dari baterai itu digunakan. Persoalan yang sering dihadapi, panel surya yang memiliki usia pakai sampai 25-30 tahun diimbangi baterai yang hanya dua tahun. Harga baterai pun relatif mahal.

Berbeda halnya jika produksi listrik dengan sel surya itu tanpa baterai atau langsung dipakai untuk keperluan pada siang hari, seperti untuk pendingin ruang atau sistem komputer. Penghematan biaya tanpa baterai cukup signifikan.

Menjadi persoalan manakala produksi listrik dengan sel surya melebihi kapasitas penggunaan, sedangkan baterai tidak disediakan. Menurut Nugroho, semestinya pemerintah menyediakan insentif berupa meteran mundur itu tadi. Artinya, listrik dari sel surya bisa masuk jaringan PLN dan PLN harus membelinya.

Mengenai peran pemerintah dalam menangani masalah energi, menurut peneliti pada Balai Besar Teknologi Energi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Herliyani Suharta, sangat memungkinkan. Herliyani menunjukkan, ketika pemerintah menilai penggunaan minyak tanah tidak lagi efisien, nyatanya substitusi dengan gas tabung hijau itu kini berhasil.

”Sekarang masyarakat tidak lagi menggunakan minyak tanah untuk memasak, tetapi memakai gas,” kata Herliyani.

Di antara keragaman berbagai lapisan masyarakat, Herliyani mengingatkan, ada masyarakat tertentu yang tidak bisa mengakses bahan bakar gas tabung kecil itu. Mereka menggunakan biomassa atau kayu-kayuan untuk bahan bakar memasak.

”Kalau biomassa mudah ditemui dan melimpah, tidak menjadi persoalan. Tetapi, bagaimana kalau masyarakat yang menggunakan biomassa itu berada di lingkungan yang gersang dan tumbuhan pun sulit hidup?” kata Herliyani.

Penggunaan biomassa dari tanah gersang menimbulkan kerusakan lingkungan. Untuk mengurangi risiko itu, Herliyani merancang sebuah tungku yang dapat menghemat penggunaan biomassa, tetapi manfaat panas yang diperoleh akan sama.

”Kalau pemerintah dapat merealisasikan tabung gas, semestinya bisa pula membuat tungku yang dirancang mampu menghemat 80 persen biomassa ini,” kata Herliyani. (NAW)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com