Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia Yakin Masih Ada Peluang di Kopenhagen

Kompas.com - 23/11/2009, 10:13 WIB

KOMPAS.com – Pembicaraan para pihak (COP15) pada Konferensi PBB mengenai perubahan iklim (UNFCCC) yang akan dilakukan di Kopenhagen, Denmark, 7-18  Desember mendatang, diragukan bisa menghasilkan kesepakatan berarti. Pembicaraan pra-COP yang dilaksanakan awal pekan ini di Kopenhagen, menunjukkan masih adanya tawar menawar keras, terutama dari negara maju, khususnya Amerika Serikat, mengenai target pengurangan emisinya. Demikian pula China, sebagai negara penyumbang emisi kedua terbesar. Kendati demikian, Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) sekaligus Ketua Delegasi RI (Delri) pada COP15, Rachmat Witoelar, melihat masih adanya peluang untuk menciptakan kesepakatan-kesepakatan yang akan bermanfaat. Meskipun, bukan keputusan ideal, seperti yang dimandatkan. COP13 di Bali pada tahun 2007 lalu, memandatkan agar COP15 berhasil merumuskan draft baru pengganti Protokol Kyoto.

Lalu, apa saja hasil pembicaraan pra-COP terakhir dan bagaimana posisi Indonesia dalam perundingan di Kopenhagen? Berikut wawancara wartawan Kompas.com Inggried Dwi Wedhaswary, dengan Rachmat Witoelar :

Bagaimana hasil pra-COP di Kopenhagen?

Pra-COP masih tawar menawar keras. Tetapi, menurut hemat saya, masih belum final, belum mati. Masih bisa ada negosiasi supaya ada kesepakatan-kesepakatan yang bermanfaat bagi dunia maupun untuk Indonesia. Tetapi, jelas tidak ideal. Karena, yang tadinya diprediksi bisa tercapai kesepakatan bulat secara total, ternyata negara-ngera maju khususnya Amerika masih tidak nyaman untuk memberikan komitmen (target penurunan emisi) sampai kemarin. Sedangkan, (kesepakatan) bagian-bagian yang tertentu, mereka mau saja.

Hambatan tercapainya kesepakatan di COP15 hanya soal keengganan negara maju menurunkan target emisi? Atau ada hambatan lain?

Ya, paling besar soal itu (komitmen menurunkan emisi). Negara berkembang berpikir, “Bagaimana sih kalian (negara maju) menjanjikan, kok nuntut macem-macem, minta ini minta itu”. Jadi, tidak baik suasana politiknya. Walaupun, suasana pribadinya baik-baik saja karena kita sering bersama.

China ada kemajuan, Pak?

China (negara emitter kedua terbesar) dia menjanjikan akan lebih maju lagi. Terakhir, dia bicara sangat simpatik bahwa disadari untuk mengatasi perubahan iklim, satu dunia mesti seia sekata. Itu kan sesuatu yang bagus. Dulu kan enggak seperti itu. Sekarang sudah, mengajak berusaha bersama-sama. Persisnya, sikap China, nanti nego terakhir 7-18 Desember.

Ada upaya dari Indonesia untuk bersama negara berkembang menyamakan target yang disasar pada COP 15?

Sebenarnya, seluruh negara berkembang ada prinsip-prinsip yang diperjuangkan bersama. Utamanya adalah building block (mitigasi, adaptasi, pendanaan, transfer teknologi) yang dihasilkan di Bali. Itu sudah pokok bagi negara-negara berkembang. Dan perundingan harus tetap berjalan. Kalau negara maju maunya tetap begitu, yang kita lakukan nothing. Tetapi, Swedia, Norwegia, Denmark, Inggris, negara Eropa sudah mau komit menurunkan target emisinya. Yang tidak mau hanya Amerika Serikat.

Dalam pertemuan pra-COP, sempat dibicarakan kemungkinan COP15 hanya menghasilkan kesepakatan politik, bagaimana?

Kita tidak mau melihat peluang (di COP 15) sudah mentok ya. Mengapa mesti begitu? Kalau begitu, ya langsung saja empat kesepakatan itu. Kita masih coba. Coba dulu melakukan upaya komprehensif, karena kita belum lapor ke masing-masing kepala negara. Nanti pada saatnya akan dibicarakan. Kalau saya, coba dulu komprehensif solusi, mungkin dengan adanya satu modulasi yang dalam proposal sebenarnya kontroversial. Lihat filosofinya juga. Kalau mutlak-mutlakan, bukan negosiasi namanya.

Jika di Kopenhagen mentok, ada pembicaraan soal alternatif yang mungkin dicapai? Perpanjangan waktu, misalnya?

Sebenarnya, perpanjangan waktu kalau pun ada, harus dimandatkan oleh COP15 yaitu untuk elaborasi teknis ataupun bilangan, bukan prinsip. Kesekapatam COP harus ditetapkan tanggal 18 Desember. Kalau ada tambahan tugas beberapa bulan, tidak masalah. Tetapi, decision making harus tanggal 14 Desember menjelang hadirnya para kepala negara (kepala negara dihadirkan pada tanggal 14 desember). Kita sepakat tanggal 14 (Desember) sudah ada hasil, apakah itu good, bad, or excellence, jadi tidak usah ada nego lagi.

Khusus Delegasi RI, poin-poin apa saja yang akan diperjuangkan?

Pertama, tentunya pengalihan hutan-hutan kita lewat program REDD (Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation). Kedua, financing untuk adaptasi, technology transfer, diluar dari kesepakatan yang akan dirumuskan menjelang berakhirnya Protokol Kyoto tahun 2012. Karena, climate change itu diyakini tidak akan menunggu selesainya perundingan. Setiap hari terus berubah, makanya cepat-cepat saja. Kita akan perjuangkan sekarang juga. Sebenarnya, secara bilateral soal financing sudah ada dengan beberapa negara yang komit dan sudah ada yang memberikan juga. Di negara-negara maju memang berbeda-beda. Ada yang segera (memberikan bantuan dana), ada yang langsung, dan ada yang menunggu. Yang paling nunggu ya Amerika karena dia kesulitan menangani masalah syaratnya.

Ada kemungkinan Indonesia merangkul negara berkembang untuk membentuk blok?
 
Hampir semua negara berkembang sejalan, kecuali 4-5 negara. Tidak usah saya sebut negaranya mana. Pada intinya, negara berkembang sudah sepakat dengan konsep yang ada.

Posisi Indonesia seperti apa?

Untuk Indonesia, kita sebenarnya negara korban. Tapi sekarang beneficiary. Dana-dana internasional lewat trust fund akan sampai ke negara-negara berkembang. Maka, yang harus dilakukan adalah mencari kesepakatan, mendalami masalah-masalah untuk kita mengadakan pembangunan yang sesuai dengan low carbon growth yang menjadi prasyarat bahwa dana-dana itu bisa dilimpahkan ke kita dan bisa didapatkan melalui upaya-upaya nyata di negara. Upaya-upaya itu sudah kita sudah lakukan. Kita menanam pohon, mempunyai UU Sampah, kita mengadakan mobilisasi semua kekuatan termasuk tidak melakukan pembakaran hutan. Kegiatan yang environment friendly itu poin bagi Indonesia untuk memasuki dunia yang terbagi dua, Annex countries dan negara berkembang. Negara berkembang harus membatasi karbonnya. Indonesia harus berkembang secara low carbon growth, memiliki alternative fuel yang baik. Segala macam emisi kota, lalu libtas, emisi gas harus dihindarkan. Kalau itu dilakukan kita sudah masuki jalur yang baik di dunia.

Bagaimana dengan pernyataan Presiden SBY yang komitmen menurunkan emisi 26 persen, bahkan 41 persen kalau ada bantuan internasional, apakah akan disampaikan upaya pencapaiannya?

No big deal. Untuk Indonesia tidak sulit untuk menurunkan emisi. Emisi kan dari energi, lalu lintas, hutan, ada lah dari unsur-unsur itu. Kita potong dimana, berapa itu ada hitung-hitungannya. Kita paling banyak itu bisa di forestry dan land used change. Indonesia itu 85 persen emisi dari forestry dan lain-lain. Kalau itu tidak ada, kita bisa potong 85 persen, target manapun kelewat. Tetapi, tentunya tidak bisa. Jadi kita potong setengahnya menjadi 41 persen. Apa yang kita lakukan? Pertama, kalau dulu kebakarannya 1000 hotspot jadi 500 hotspot. Dulu yang sempat 32.000 hotspot sudah turun menjadi 120 hotspot, tapi tidak dipublikasikan. Enggak terlalu rumit (untuk memenuhi targetnya). Caranya gimana? Jangan bakar pohon! Fokus kita itu di forestry. Amannya tanpa usaha, 26 persen.. Dengan upaya ini, yang untung siapa? Ya dunia, karena mereka untung, bayar lah. Kita perlu 15 miliar dollar AS dari dana internasional. Dari sisi itu, kita dapat untung, dananya digunakan untuk merawat.

Selain pemerintah, apa upaya yang bisa dilakukan masyarakat?

Mohon pengertian dari seluruh masyarakat bahwa untuk menurunkan gas rumah kaca, Indonesia akan berusaha untuk melakukan itu. Caranya, mengajak semua negara, mendesak negara maju dan melakukan usaha sendiri. Jadi upayanya, kita mendesak negara maju supaya turunkan emisinya, kita ajak negara berkembang untuk sama-sama kita low carbon growth dan kita sendiri juga berusaha. Pendekatan ini mohon didukunglah. Untuk mengurangi 26 persen, Bantu salah satunya jangan membakar pekarangan, hutan. Kalau itu dilakukan, kita bisa menjadi warga terhormat di dunia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com