JAKARTA, KOMPAS.com - Konferensi perubahan iklim PBB yang akan diadakan di Kopenhagen, Denmark, Desember mendatang, kemungkinan tidak akan menghasilkan sebuah draft kesepakatan baru pengganti Protokol Kyoto.
Executive Secretary of the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Yvo de Boer mengatakan, hasil yang paling memungkinkan adalah empat keputusan politik yang akan memberikan kejelasan, khususnya bagi dunia usaha.
Dalam wawancaranya dengan Environment & Energy Publishing (E&E), Yvo de Boer mengungkapkan, empat keputusan politik itu adalah pertama, berapa besar negara-negara industri akan menurunkan emisi gas rumah kacanya. Kedua, seberapa besar negara berkembang seperti China dan India akan membatasi pertumbuhan emisinya. Ketiga, bantuan seperti apa yang dibutuhkan negara berkembang untuk mengurangi emisi dan mengadaptasi pengaruh perubahan iklim dalam skala pendanaan. Dan keempat, bagaimana bantuan tersebut didistribusikan.
Yvo de Boer memandang, masih diperlukan adanya hal-hal yang disepakati di Kopenhagen, tetapi tidak mungkin hasil tersebut merupakan keputusan final dan mendetil tentang sebuah kesepakatan baru. Protokol Koyoto, yang berakhir masa komitmennya pada 2012 mendatang, berisi seperangkat peraturan mengenai target pengurangan emisi gas rumah kaca yang diratifikasi oleh 184 negara yang merupakan bagian dari konvensi iklim PBB. Pengecualian untuk Amerika Serikat yang hingga saat ini tidak meratifikasi kesepakatan tersebut.
Akan tetapi, Yvo de Boer mengapresiasi langkah Amerika Serikat yang kembali ke proses perundingan perubahan iklim dan turut mengikatkan diri di dalamnya. "Pelajaran besar yang saya dapatkan dari era Protokol Kyoto adalah pentingnya peran delegasi pemerintah yang mewakili Amerika Serikat dakan berkomunikasi dengan senat, mengenai hal apa saja yang bisa diterima dan tidak," kata Yvo de Boer.
Menurut pandangannya, penolakan Amerika Serikat atas Protokol Kyoto didasari dua alasan utama. Pertama, ketentuan dalam kesepakatan itu tidak melibatkan peran aktif dari negara-negara berkembang dan kedua, kesepakatan itu dirasakan merugikan bagi perekonomian Amerika Serikat.
Konferensi di Kopenhagen, tambah de Boer, akan menerapkan skenario yang jauh berbeda. Ia percaya, Presiden AS Barack Obama mampu meyakinkan China dan India untuk turut menandatangani perjanjian baru. Ketika ditanya, apakah resesi global akan mempengaruhi negosiasi di Kopenhagen, de Boer tak menampiknya, "Mari kita lihat, investasi dalam proyek energi terbarukan mengalami goncangan. Terutama, karena menurunnya harga minyak dan menurunnya aktivitas ekonomi," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.