Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Upaya Prediksi Gempa

Kompas.com - 26/10/2009, 08:18 WIB

Gelombang EM digunakan untuk mengindikasikan terjadinya gempa karena percepatan gerakan lempeng dan magma akibat perubahan formasi bebatuan di perut Bumi menimbulkan lonjakan gelombang elektromagnet. Anomali ini terlihat sebelum gempa terjadi.

Menggali ilmu pemantauan gempa dari dua negara itu, Djedi S Widarto, peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, beberapa waktu lalu mengungkapkan hasil risetnya di Liwa, daerah di pesisir barat perbatasan Lampung-Bengkulu yang diguncang gempa dahsyat beberapa tahun lalu.

Pertanda munculnya gempa tektonik dapat diketahui dua hingga lima hari sebelum kejadian, ditunjukkan adanya anomali gelombang elektromagnet di permukaan Bumi. ”Ada lonjakan elektromagnetik sekitar 5 milivolt sebelum terjadi gempa besar di daerah itu,” urainya. Penyimpangan ini bahkan terpantau di lapisan ionosfer yang berada 300 hingga 400 kilometer di atas permukaan Bumi.

”Dengan berkembangnya teknik sensor dan instrumentasi, pemantauan anomali elektromagnetik dalam 5-10 tahun mendatang dapat digunakan sebagai parameter untuk memprediksi gempa tektonik,” ujar Djedi, doktor geofisika dari Kyoto University.

Akibat pergerakan lempeng, terjadi rekahan yang memengaruhi gaya berat dan mineral magnetis di dalam Bumi sehingga mengganggu kestabilan gaya medan elektromagnetik. ”Gangguan ini bisa sampai radius 400 kilometer di atas permukaan Bumi, pada lapisan ionosfer,” ujar Djedi, yang menyelesaikan riset itu di Institute of Space Science National Central University, Taiwan.

Sementara itu, peneliti dari Lapan, Sarmoko Saroso, yang melakukan penelitian anomali elektromagnetik di institut yang sama, memperoleh data adanya anomali EM ketika terjadi gempa Aceh, 26 Desember 2004 lalu. Data tersebut terekam pada waktu yang bersamaan di empat stasiun global positioning system (GPS), yaitu di Medan, Singapura, Myanmar, dan India.

Pascagempa Aceh, para pakar dari kedua negara tersebut sepakat menjalin kerja sama riset lebih lanjut, melibatkan lembaga penelitian di Indonesia, yaitu LIPI dan Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional.

Pengukuran elektromagnetik dilakukan dengan menggunakan jaringan GPS, selain alat magnetometer, sensor elektroda geolistrik, dan teropong korona. Sistem ini dilengkapi dengan alat telemetri untuk data secara real time. Penelitian di Liwa tahun 2005 itu mendeteksi lonjakan gelombang elektromagnetik sebagai pertanda gempa tektonik berkekuatan 5,2 SR pada 12 hari sebelum kejadian.

Asperitas

Selain teknik pengukuran gelombang elektromagnet itu, Jepang mulai meneliti asperitas (asperity), yaitu tingkat kekasaran permukaan lempeng di zona subduksi dengan sistem seismograf. ”Dengan mengetahui kekasaran permukaan, dapat diketahui terjadinya perlambatan gerak penunjaman hingga akhirnya 'terkunci' dan kemudian lepas atau menggelosor,” tutur Eko Yulianto, yang meraih doktor geologinya dari Universitas Hokkaido, Jepang.

Yoshiko Yamanaka dan Masayuki Kikuchi dari Institut Riset Gempa Bumi Universitas Tokyo meneliti karakteristik kekasaran permukaan (asperity) lempeng, dengan mempelajari sumber kegempaan di daerah antarlempeng atau zona subduksi di lepas pantai Distrik Tohoku, timur laut Jepang.

Penelitian yang dipublikasikan tahun 2003 ini berdasarkan data seismik regional selama lebih dari 70 tahun lalu. Mereka menemukan tiga kategori pola distribusi asperitas lempeng di Tohoku, dibedakan pada tingkat kekasaran dan kegempaan yang ditimbulkannya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com