YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Aturan, kalkulasi, hingga mekanisme perdagangan karbon diakui sangat rumit, namun harus sudah selesai disiapkan Pemerintah Indonesia, sebelum penandatanganan Kyoto Protocol tahun 2012.
Indonesia harus diperhitungkan internasional dan jangan sampai mau menjual potensi karbonnya dengan harga murah. Kerja sama yang nanti dijalin juga harus menguntungkan Indonesia. Ini tak mudah karena negara-negara penghasil emisi karbon, tentu akan berupaya membuat harga karbon dari Indonesia rendah.
Demikian disampaikan Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan Boen M Purnama dan Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan Tachir Fathoni, di sela-sela Rapat Koordinasi Teknis Badan Litbang Departemen Kehutanan, Rabu (5/8) di Hotel Melia, Yogyakarta.
"Pembicaraan perdagangan karbon dengan negara lain sedang kami bicarakan. Australia, Norwegian. Korea Selatan, dan Jepang sudah menyatakan tertarik. Namun jalinan kerja sama masih dalam tahap penjajagan," kata Boen.
Sementara di sisi lain, lanjutnya, Departemen Kehutanan juga sedang menyusun aturan menteri kehutanan. Indonesia tidak ingin manfaat dari perdagangan karbon tak terdistribusi ke masyarakat.
Tachir menambahkan, untuk menghitung potensi karbon yang merupakan sumber pencemaran udara ini, harus dengan penelitian seksama. Hutan tropis, seperti yang banyak dimiliki Indonesia, sangat efektif menangkap karbon. Potensi tersebut, jangan sampai terbuang, dalam arti karbon Indonesia dihargai murah, dan Indonesia didikte.
Karbon-karbon itu bisa tersimpan di badan pohon, di atas permukaan tanah dan di dalam tanah. Dengan kata lain, penghitungan karbon, harus sampai ke sana. Potensi karbon pada pohon, beda dengan pada tanah. Antarpohon pun berbeda. "Ini memang kalkulasi dalam ranah ilmiah, sehingga harus hati-hati dan Indonesia tak dirugikan," ucap Tachir.
Isu perdagangan karbon, Januari lalu pernah diangkat dalam pekan Raya Hutan di Universitas Gadjah Mada. San Afri Awang, pengajar Fakultas Kehutanan UGM memperkirakan bahwa satu hektar hutan tropis Indonesia bisa menyerap 150-200 ton karbon per tahun.
Indonesia, lanjut Boen, baru bisa menjual potensi karbon selepas Kyoto Protocol, yang adalah kesepakatan negera-negara mengurangi emisi untuk menekan laju pemanasan global. Industri-industri dari negara-negara yang mencemari udara dengan emisi karbon, termasuk juga dalam kasus kebakaran hutan, wajib membeli karbon dari negara yang mempunyai hutan, sebagai kompensasinya.
Indonesia, diutarakan Tachir, adalah negara pendorong terciptanya kesepakatan perdagangan karbon. Indonesia mengajak negara-negara yang mempunyai hutan tropis untuk ikut bersama mengurangi kerusakan dan laju pengurangan hutan. Negara-negara di ASEAN, telah mendukung langkah Indonesia ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.