Mawar Kusuma Wulan
KOMPAS.com — Gunung Nglanggeran menawarkan sensasi pendakian malam bertabur cahaya. Dengan jarak tempuh pendakian lebih kurang dua jam, wisatawan bisa menapaki puncak tertinggi gunung api purba itu. Tak hanya keindahan alam, kenangan tak terlupakan sesungguhnya terletak pada suguhan keramahan warga sekitar.
Mungkin hanya di gunung api purba di Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Gunung Kidul, DI Yogyakarta, ini para pendaki benar-benar ”dimanjakan”. Setelah lelah menapaki bongkahan batu jenis breksi, wisatawan bisa bersantai sembari menikmati sajian makan pagi, siang, atau malam dari penduduk sekitar.
Asalkan sudah pesan sebelum naik gunung, warga siap mengantar pesanan makanan hingga ke ketinggian 700 meter di atas permukaan laut itu. Harga aneka menu makanan pun cukup mencengangkan karena murahnya. Nasi rames yang diantar dengan peluh bercucuran itu hanya Rp 3.000 per bungkus.
Ditemani pemuda karang taruna Bukit Putra Mandiri dari Desa Nglanggeran, Kompas mendaki Gunung Nglanggeran yang pernah aktif 70 juta tahun lalu itu pada pertengahan Juli lalu, keduanya pada malam hari. Jika ingin menyaksikan puncak keindahan Gunung Nglanggeran, pendakian malam memang menjadi satu-satunya pilihan.
Berjarak tempuh 22 kilometer dari Kota Wonosari, kawasan Gunung Nglanggeran, tersusun dari material vulkanik tua. Gunung tersebut diperkirakan pernah aktif pada 70 juta tahun lalu.
Ceruk
Berbeda dari pendakian gunung lainnya, kami tak perlu membawa tenda. Di gunung yang seluruh tubuhnya berupa batuan keras ini terdapat banyak sekali ceruk batuan yang biasa digunakan sebagai tempat istirahat saat mendaki. Ceruk batuan ini bahkan sanggup melindungi dari kencangnya terpaan angin ataupun hujan.
Gunung Nglanggeran memiliki beberapa alternatif jalur pendakian dengan berbagai tingkat kesulitan. Rombongan kami mencoba jalur yang tingkat kesulitannya tergolong sedang. Memanfaatkan bantuan pemuda karang taruna sebagai pemandu pendakian menjadi pilihan terbaik bagi pendaki pemula karena gunung ini memiliki jurang dan lembah cukup dalam.
Menapaki batuan dengan kemiringan 45 derajat sepanjang 500 meter, kami mulai berjumpa dengan batuan landai pertama yang dinamai Latar Gede. Di Latar Gede ini, kami menikmati pemandangan terbenamnya matahari. Dari batuan tempat kami duduk, Gunung Merapi terlihat anggun dalam selimut cahaya jingga pada senja hari.
Seiring hadirnya kegelapan, kami pun mulai mengandalkan penerangan cahaya senter. Bagian tersulit sekaligus menegangkan adalah ketika kami berjumpa dengan celah di antara dua batuan gunung setinggi lebih dari 100 meter. Celah sempit yang hanya muat dilewati satu orang ini dikenal dengan julukan Goa Jepang.
Kami harus merambat perlahan di antara dua celah batuan ini. Jika tidak ada bantuan berupa goresan tapak-tapak kaki pada dinding batuan, kami tak mungkin bisa menembus celah. Tapak-tapak tersebut, menurut pemandu kami, Triyanto (28) dan Suhardiman (33), merupakan buatan zaman Jepang. Jepang yang dikejar tentara Sekutu pada Perang Dunia II memilih bersembunyi di antara ceruk batuan Gunung Api Purba Nglanggeran.
28 mata air
Gunung Nglanggeran memang cocok sebagai tempat persembunyian karena memiliki lebih dari 28 mata air. Tepat di samping Goa Jepang, terdapat sumber mata air yang tak pernah kering sepanjang masa. Warga meyakini sumber berupa rembesan air itu berasal dari telaga mistis yang dijuluki Telaga Wungu. Konon, hanya orang berhati bersih yang mampu melihat keberadaan telaga itu.
Puncak tertinggi dari Gunung Api Purba Nglanggeran segera kami jumpai setelah berjalan kaki selama lebih kurang dua jam. Puncak tersebut dijuluki Gunung Gede, berupa bongkahan batuan seluas setengah hektar. Di pucuk tertinggi itulah kami menikmati suguhan taburan cahaya. Setelah puas menikmati taburan bintang jatuh, kami menyaksikan terbitnya bulan dari arah timur.
Tak hanya taburan cahaya alam. Kerlap-kerlip cahaya kota dari Yogyakarta, Klaten, dan Surakarta pun menampakkan kecantikannya. Jurang yang mengelilingi Gunung Gede ini konon merupakan bekas kawah dari gunung api purba. Jauh dari hiruk pikuk keramaian, kami hanya sanggup mendengar deru angin, bunyi jangkrik, dan sesekali dahan yang patah karena gerakan binatang luwak.
Nama Nglanggeran, menurut Triyanto, berasal dari kata Plangaran yang bermakna setiap perilaku jahat pasti tertangkap. Gunung Nglanggeran ini tersusun dari banyak bongkahan batuan besar yang oleh warga sekitar disebut Gunung Wayang karena bentuknya menyerupai tokoh pewayangan.
Menurut kepercayaan setempat, gunung ini dijaga Ki Ongkowijoyo dan para punakawan Semar, Gareng, Petruk, serta Bagong. Tak heran, sebagian orang masih mengeramatkan gunung tersebut. Pada malam tahun baru Jawa atau Jumat Kliwon, beberapa orang memilih semedi di pucuk gunung. Di Gunung Nglanggeran ini pula warga pernah menemukan arca mirip Ken Dedes.
Setelah menikmati terbitnya matahari, pengunjung pun disuguhi hijaunya alam pegunungan. Gunung Nglanggeran juga menjadi rumah bagi aneka flora dan fauna langka, mulai dari kijang, kera, hingga cendana liar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.