NAWA TUNGGAL
Perekayasa BPPT terinspirasi mengembangkan teknologi biohidrogen untuk memproduksi listrik dari sel bahan bakar setelah melihat tiga masalah, yaitu cadangan minyak bumi menyusut, kebutuhan energi meningkat, serta munculnya keinginan memperlambat laju pemanasan global.
Biohidrogen diperoleh dari limbah biomassa secara fermentasi, limbah listrik yang dihasilkan berupa air murni sehingga terasa cocok untuk mengatasi ketiga persoalan tadi.
”Teknologi biohidrogen untuk sel bahan bakar ini menjanjikan, yaitu meninggalkan ketergantungan terhadap minyak bumi, pemenuhan energi secara efisien, serta teknologi ini ramah lingkungan karena tidak menghasilkan emisi gas buang,” kata Eniya Listiani Dewi, perekayasa Pusat Teknologi Material pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Senin (29/6) lalu di Jakarta.
Bersama Mahyudin, perekayasa Pusat Teknologi Bioindustri BPPT, Eniya merancang sistem sel bahan bakar yang bisa menghasilkan listrik sampai 1.000 watt. Pertengahan Juli 2009 akan dikaji bersama PT PLN untuk pengembangannya di daerah yang membutuhkan.
Menurut Eniya, sistem sel bahan bakar rancangannya itu ditujukan untuk pemenuhan listrik permukiman, meskipun pada tahun 2008 lalu pernah dicoba pula untuk menggerakkan mesin sepeda motor listrik dengan kapasitas listrik 500 watt.
”Ke depan kira-kira seperti di Jepang harus ada
Sel bahan bakar sebagai penghasil listrik belum populer di Tanah Air dibandingkan dengan sel surya, turbin angin, minihidro, atau yang lainnya, meski semua pemanfaatannya masih tertatih. Kesulitan utama, yaitu pada tingginya harga peranti. Namun, Eniya mengembangkan rekayasa untuk menurunkan biaya meski baru teruji di skala laboratorium.
Untuk Stack fuel cell Eniya merancang material elektrolit padat dengan sintesis hidrokarbon polimer, berupa kopolimer
”Polimer nano-komposit ini murni bahan lokal untuk menggantikan penggunaan bahan
Eniya juga menyubstitusi komponen sel bahan bakar, yaitu
Mahyudin menghemat dengan cara lain. Lazimnya, hidrogen dibeli dari pasaran, harga listrik dengan sel bahan bakar menjadi Rp 1.500 per kilowatt, atau dua kali lipat dari harga listrik PT PLN yang Rp 700 per kilowatt.
”Biohidrogen yang saya hasilkan melalui fermentasi gliserol dari limbah produksi minyak sawit dapat menekan harga produksi. Lebih murah dari harga pasaran PT PLN,” katanya.
Sangat menjanjikan. Ditunggu praktiknya nanti.