SEMARANG, KOMPAS.com — Ruang terbuka hijau yang terdapat di Kota Semarang terus berkurang. Hal ini mengindikasikan adanya alih fungsi lahan yang tidak berwawasan lingkungan sehingga berpotensi menimbulkan bencana alam.
Berdasarkan data dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Semarang, ruang terbuka hijau (RTH) pada tahun 1994 sebesar 65,008 persen berkurang menjadi 61,74 persen (2002), dan turun lagi menjadi 52,29 persen (2006).
"Meskipun secara kuantitas luasan RTH tersebut memenuhi, tetapi peranan RTH belum dapat tercapai secara kualitas," ujar Kepala Bidang Perencanaan Pembangunan III Bappeda Kota Semarang M Farchan dalam Seminar bertema "Implementasi Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) pada Daerah Lerengan dan Ruang Terbuka Hijau di Semarang" di Kampus Universitas Katolik Soegijapranata, Kota Semarang, Selasa (23/6).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, luasan RTH ditetapkan minimal 30 persen dari total luas wilayah. Dari 16 kecamatan yang terdapat di Kota Semarang, terdapat delapan kecamatan yang belum memenuhi ketentuan RTH, antara lain Gajah Mungkur (7,48 persen), Candisari (6,26 persen), Pedurungan (24,18 persen), Gayamsari (19,21 persen), Semarang Timur (9,54 persen), Semarang Utara (9,47 persen), Semarang Tengah (11,9 persen), dan Semarang Barat (27,9 persen).
Perda RTH tertahan
Farchan mengakui, kondisi ini disebabkan pesatnya pembangunan fisik akibat pertumbuhan penduduk. Untuk itu, Pemerintah Kota Semarang telah merancang Peraturan Daerah tentang RTH yang memuat sistem zonasi yang membatasi pembangunan dan mempertahankan RTH di perkotaan. "Namun, hingga kini, perda tersebut masih belum disetujui oleh Pemprov Jateng," ucap Farchan.
Guru Besar Program Studi Magister Hukum Unika Soegijapranata Agnes Widanti mengatakan, perda mengenai RTH seharusnya segera diberlakukan untuk menghentikan alih fungsi lahan yang tidak terkendali, seperti penebangan hutan karet untuk menjadi perumahan di Mijen.
Untuk itu, dia menyayangkan jika Perda RTH tersebut tidak dapat segera diterapkan karena tertahan oleh Pemprov Jateng. "Hal ini membuktikan ketidakpekaan pemerintah dalam menangani masalah tata ruang," ucapnya.
Djoko Suwarno dari Lembaga Lingkungan Manusia dan Bangunan (LMB) Unika Soegijapranata menambahkan, berkurangnya RTH di sebuah kota dapat berdampak pada meningkatnya pencemaran udara, ketersediaan air tanah menurun, dan suhu meningkat. "Hal ini juga memengaruhi keamanan dan kenyamanan kota," katanya.
Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Jateng Dharma Gunadi mengatakan, pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan seharusnya tidak diberikan izin. Hal ini membutuhkan kesadaran dari para pemegang kebijakan untuk kepentingan anak-cucu di masa depan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.