JAKARTA, KOMPAS.com — Gencarnya upaya Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk menyosialisasikan 'Vote Komodo', terutama melalui iklan dan banner, menuai protes.
Oleh penyelenggara nominasi ini, pemerintah dinilai terlalu mengintervensi proses alamiah dari masyarakat Indonesia untuk memilih Taman Nasional Komodo agar masuk dalam 11 besar New 7 Wonders of Nature (N7WN).
Namun, Depbudpar menilai bahwa sosialisasi untuk mendorong masyarakat memilih adalah tanggung jawabnya dan sudah mengikuti prosedur yang berlaku.
Dirjen Pemasaran Depbudpar Sapta Nirwandar mengakui bahwa pihaknya berada dalam dilema. Pemerintah memang berniat aktif dalam sosialisasi ini, sementara pihak penyelenggara melarang pemerintah untuk terlalu intervensi. Pasalnya, belum ada satu pun perusahaan atau institusi yang mau mengambil peran untuk sosialisasi ini.
"Kalau kita enggak lead, siapa yang mau ngurusin? Tapi bagaimana kalau kita tak terlibat. Nanti kalau tak terpilih, kita juga yang disalahkan," tutur Sapta dalam Media Gathering di Gedung Sapta Pesona Jakarta, Jumat (12/6).
Direktur Promosi Depbudpar Esthy Reko Astuty mengatakan, dalam ajang nominasi ini, penyelenggara menetapkan dua pihak dari peserta untuk menyosialisasikan kekayaan alam di masing-masing negara untuk didukung sebagai nominasi, yaitu pemerintah sebagai Official Supporting Committee dan pihak pemerintah daerah atau perusahaan sebagai Official Nominee Supporter.
Pihak kedua ini nantinya juga berhak melakukan sosialisasi dan membuka line untuk voting. Namun, mereka harus terlebih dahulu melapor ke pihak penyelenggara dan membayar fee sebesar 10.000 dollar. Bahkan, Esthy menambahkan baru-baru ini fee yang diketahuinya mencapai 20.000-40.000 dollar per bulan.
"Kita sudah tawarkan. Tapi enggak ada yang berminat. Fee-nya mahal banget," tutur Esthy.
Oleh karena itulah, Depbudpar mengambil langkah untuk memimpin sosialisasi agar Taman Nasional Komodo masuk menjadi 11 besar nominasi. Sapta mengatakan, pihaknya sudah mempelajari dengan cermat aturan yang ditetapkan penyelenggara sehingga gerak pemerintah yang terlalu aktif tak akan terjegal dengan hukum formal yang berlaku. "Kita juga senang kalau ada institusi atau industri yang mengambil alih," ujar Sapta.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanDapatkan informasi dan insight pilihan redaksi Kompas.com
Daftarkan EmailPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.