Oleh NINOK LEKSONO
KOMPAS.com - Jumat tanggal 6 Maret pukul 03.50 GMT, atau pukul 10.50 WIB, sebuah roket Delta II tinggal landas dari Stasiun Angkatan Udara Tanjung Canaveral, Florida, Amerika Serikat. Di pucuk roket Delta ini terdapat sebuah instrumen yang amat penting, yakni Teleskop Kepler. Peluncuran berjalan mulus, dan sejam kemudian, Kepler terpisah seluruhnya dari tingkat tiga roket peluncur seperti direncanakan.
Misi Kepler adalah untuk menemukan planet di luar tata surya yang menyerupai Bumi. Jadi, yang akan dicari Kepler adalah planet kecil (tidak sebesar Jupiter atau Saturnus) dan berbatuan, yang mengorbit bintang induk (seperti Matahari) dengan jarak yang tepat. Artinya, jarak tersebut tidak terlalu dekat sehingga air mendidih, tetapi juga tidak terlalu jauh sehingga air membeku. Jarak yang ideal bagi kehidupan ini sering disebut sebagai ”Zona Bisa Didiami” (habitable).
Sejauh ini petunjuk soal adanya planet yang menyerupai Bumi tak banyak diperoleh karena penyelidikan yang dilakukan tidak cukup peka untuk menemukan planet seperti itu. Teleskop Kepler diharapkan mampu menjawab tantangan ini.
Menjelang peluncuran, Ilmuwan Kepala (Proyek) Kepler William Borucki di Pusat Riset Ames milik NASA di Moffett Field, California, mengatakan, ”Kalau ada banyak Bumi di luar sana, boleh jadi juga ada banyak kehidupan di sana - dan barangkali juga bahkan peradaban asing di sana yang menunggu kontak kita.” (New Scientist, 5/2)
Sebelum ini memang sudah ditemukan planet-planet yang ukurannya sedikit lebih besar dibandingkan Bumi. Yang satu ditemukan oleh teleskop-teleskop di Bumi dengan menggunakan teknik lensa gravitasi dan lainnya ditemukan oleh Satelit Corot yang dijuluki ”Pengamat Makhluk Asing Eropa”. Corot diluncurkan tahun 2006 dan misinya adalah mengamati bintang yang kecerlangannya susut karena diduga ada planet yang lewat di depannya.
Selain itu, juga sudah diketahui dua planet yang diduga berbatu dengan ukuran beberapa kali massa Bumi yang mengorbit bintang katai merah Gliese 581, dan salah satunya mungkin ada di Zona Bisa Didiami, meski di perbatasan.
Gregory Laughlin, ilmuwan di Universitas California, Santa Cruz, yang memimpin riset planet-planet transit, mengakui bahwa deteksi planet terestrial seukuran Bumi yang punya orbit bisa didiami masih belum ada.
Teknik baru
Sebelum ini, penemuan sebagian besar planet luar tata surya (exoplanet) dilakukan dengan teknik kecepatan radial, yaitu dengan mengamati spektrum cahaya bintang untuk melihat apakah ada gerak maju dan mundur periodik yang disebabkan oleh tarikan gravitasi planet-planet bintang tersebut. Metode ini belum cukup sensitif untuk mendeteksi planet sekecil Bumi.
Kepler dirancang untuk mengatasi masalah ini, yaitu dengan menerapkan metode planet transit. Teleskop ini akan memonitor 100.000 bintang dan mengukur adanya peredupan periodik, yang diartikan sebagai akibat adanya planet yang lewat di depannya. Hal ini akan dilakukan secara terus-menerus selama 3,5 tahun.
Lalu, berbeda dengan Corot yang mengorbit Bumi, Kepler akan mengorbit mengelilingi Matahari. Ini akan membuat pandangannya ke langit lebih tidak terhalang oleh Bumi.
Didukung oleh lensa yang lebih besar, dengan ukuran 95 cm, Kepler akan mampu melihat planet dengan ukuran setengah Bumi atau seukuran Mars.
Apa pun hasilnya
Belum bisa dipastikan berapa banyak planet seukuran Bumi yang bakal ditemukan oleh Kepler. Tapi apa pun, Kepler akan menjadi acuan baru dalam perburuan planet. Kalau memang planet seperti Bumi ternyata merupakan hal umum, maka beberapa di antaranya diperkirakan mengelilingi bintang induknya pada jarak cukup dekat. Misi berikut akan memeriksa apakah ada oksigen di sana, juga petunjuk lain yang mengisyaratkan adanya kehidupan.
Badan ruang angkasa AS (NASA) dan Eropa (ESA) sedang menggodok dua misi yang disebut Terrestrial Planet Finder dan Darwin yang diupayakan bisa meluncur sebelum tahun 2020. Misi ini dimaksudkan untuk bisa mengukur cahaya dari planet extrasolar di orbit bisa didiami. Sasaran utama adalah mengukur spektrum cahaya yang melewati atmosfer planet itu, apakah ada jejak oksigen atau bahan kimia lain yang mengindikasikan adanya kehidupan.
Visi terus hidup
Mengikuti perkembangan sains di atas, tampak bahwa negara maju terus mengembangkan program-program untuk memajukan ilmu pengetahuan, meski dewasa ini kondisi ekonomi pada umumnya buruk.
Diakui, proyek seperti Kepler menelan biaya ratusan juta dollar, tetapi ia dipersiapkan secara baik, dan diyakini tujuannya, sehingga tetap dijalankan meski mahal. Tidak berhenti sampai di Kepler, ini juga sudah dipikirkan untuk meluncurkan Proyek Darwin guna mencari kehidupan di planet extrasolar.
Tampak visi untuk unggul dan maju - juga sebagai persiapan untuk menguasai teknologi penjelajahan angkasa masa depan - tidak ditinggalkan begitu saja. Kita tentu belum bisa sepenuhnya meniru langkah negara maju. Tetapi, setidaknya semangat ilmiah yang diperlihatkan oleh bangsa-bangsa tersebut juga bisa menginspirasi kita.
Mereka tak gentar dengan risiko karena dari misi Kepler ini, bisa juga mereka tidak menemukan planet seperti Bumi yang dicari. Tetapi, itu tidak mengecilkan hati karena pasti ada hasil lain yang diperoleh.
Borucki menyimpulkan, kalau Kepler menemukan banyak Bumi di galaksi, kondisi yang mendukung kehidupan merupakan hal biasa. Tetapi, kalau tidak ada Bumi pada bintang tersebut, bisa berarti bahwa kita sendirian di alam semesta ini tanpa ada saudara semesta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.