Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kadek Ari, Keteguhan Peneliti Ikan

Kompas.com - 11/03/2009, 11:50 WIB

BM Lukita Grahadyarini dan Helena F Nababan

KOMPAS.com — Ari Wahyuni atau biasa disapa Kadek semula tak berpikir untuk membiakkan spesies ikan laut yang jumlahnya mulai langka di alam. Namun, kecintaan pada dunia perikanan membuat dia tergerak membudidayakan beberapa jenis ikan yang populasinya terancam akibat terus diburu dalam jumlah besar.

Salah satu buah ketekunannya adalah pengembangbiakan kuda laut (Hippocampus spp) dan ikan badut atau ikan yang terkenal berkat film "Finding Nemo"  (Amphiprion sp) secara massal. Kuda laut yang dikembangkan ada dua jenis, yaitu Hippocampus kuda dan Hippocampus comes. Tahun 2008, total benih kuda laut yang dihasilkan 30.000 ekor dan benih ikan nemo sekitar 10.000 ekor.

Pergulatan Kadek membudidayakan ikan nemo atau ikan badut (clownfish) diawali pada 2003. Keinginan mengembangkan nemo muncul ketika seorang keponakan menggelitiknya dengan pertanyaan, ”Bisakah ikan lucu itu dikembangbiakkan?”

Pertanyaan itu membuat sarjana biologi ini terpana. Kadek yang terbiasa berkecimpung dalam pembiakan ikan malah belum terpikir mengembangkan ikan hias semacam itu. Di tingkat pedagang, ikan nemo yang mengandalkan tangkapan di alam dijual relatif murah, Rp 3.500 per ekor. Ikan mungil itu memiliki penampilan yang lucu sehingga terus diburu dan semakin sulit ditemukan.

Ia lalu bereksperimen dengan membeli sepasang ikan nemo berwarna dasar oranye cerah dengan corak garis putih dihiasi siluet hitam (Amphiprion ocellaris). Ikan itu diambil dari perairan Teluk Lampung, Provinsi Lampung. Percobaan awal tak berhasil. Sepasang nemo itu malah mati.

Kadek membeli lagi ratusan ikan nemo untuk dikembangbiakkan. Ia juga mencari konsep ”rumah buatan” yang tepat sebagai pengganti terumbu karang untuk bersarang dan tempat bertelur ikan karang itu. Proses uji coba ini menyebabkan ratusan ikan nemo mati. Ia lalu menggunakan anemon laut untuk tempat induk nemo bersarang dan menciptakan modifikasi pipa bekas sebagai tempat tinggal benih nemo.

”Hal tersulit adalah mencari tempat tinggal, bersarang, dan bertelur ikan itu. Jika perairan tercemar dan terumbu karang dirusak, populasi ikan ini di alam mudah terancam,” kata Kadek yang bekerja sebagai peneliti di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung.

Hampir berbarengan dengan budidaya nemo, ia juga berinovasi memijahkan kuda laut yang tergolong hewan langka. Kuda laut hasil pemijahan itu memiliki masa pertumbuhan relatif cepat sehingga butuh waktu pemeliharaan hanya 6-7 bulan untuk siap panen dengan ukuran di atas 10 cm. Pemijahan kuda laut di Indonesia pernah dirintis pada 1990-an oleh peneliti BBPBL Lampung, Sudaryanto.

Sebagai peneliti, Kadek tak ingin setengah-setengah. Ia juga mencari formula pakan yang tepat bagi nemo dan kuda laut melalui pemberian jenis pakan yang disesuaikan dengan umur spesies. Ikan nemo yang terbiasa mengandalkan pakan alam bisa mengonsumsi pakan buatan berupa pelet setelah berukuran 3 cm.

Pengembangbiakan ikan nemo dan kuda laut menuai hasil tahun 2008. Keturunan ikan nemo sudah menghasilkan generasi kedua, sedangkan kuda laut generasi keempat. Kuda laut yang merupakan bahan dasar obat-obatan itu produksinya mencapai 14.000 ekor, di antaranya dipasarkan ke Jepang dan Jerman.

Benih hasil budidaya juga memiliki daya tahan lebih baik ketimbang tangkapan alam dan bisa beradaptasi dengan pakan buatan, perubahan lingkungan, dan salinitas. Selain menekuni budidaya ikan nemo dan kuda laut, Kadek bersama tim peneliti BBPBL Lampung juga mengembangkan budidaya kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dan rumput laut.

Modal sendiri

Lulusan Fakultas Biologi Universitas Satya Wacana, Salatiga, ini yakin perikanan laut adalah kekayaan hayati yang potensial dibudidayakan. Sebagai peneliti yang juga pegawai negeri sipil (PNS), Kadek menyadari penelitian selama ini kurang aplikatif untuk diterapkan masyarakat.

Lebih jauh ia mengkritik budidaya perikanan di negeri bahari ini belum maju lantaran sikap peneliti yang cenderung enggan bekerja lebih keras memajukan dan mengungkap kekayaan perikanan Tanah Air.

Sebagai bukti keseriusan mengembangkan penelitian, Kadek merogoh kocek pribadi hingga jutaan rupiah untuk penelitian ikan nemo. Keteguhannya meneliti dan membiakkan nemo tanpa biaya pemerintah itu sempat menuai kecurigaan petugas pengawas PNS yang mengaudit BBPBL Lampung pada 2005.

Pengawas itu mencurigai Kadek menggunakan dana ”gelap” dan secara sembunyi-sembunyi melakukan penelitian ikan nemo dan kuda laut. Setelah melalui proses interogasi, petugas itu berbalik mendukung penelitian yang dilakukan Kadek secara swadaya.

Terinspirasi nemo

Bergelut dengan budidaya satwa air membuat perempuan pemalu ini kerap terilhami sikap dan perilaku ikan. Ia terkesan saat mengetahui ikan nemo dan kuda laut adalah satwa air yang setia dan hanya mau dikawinkan dengan pasangannya.

”Kesetiaan nemo itu menginspirasi saya untuk terus setia pada (budidaya) ikan,” ujar anak keenam dari tujuh bersaudara itu.

Kadek tak ingin menyimpan hasil karyanya. Ia bercita-cita menghidupkan kembali tempat pembenihan udang (hatchery) milik rakyat yang kolaps sejak 2003 dengan mengajak petambak membudidayakan nemo dan kuda laut.

Ia berkeyakinan, maraknya upaya pengeboman karang dan perburuan ikan hias tak bisa dihentikan semata-mata dengan larangan dan sanksi. Lingkaran setan perusakan biota perairan bisa diputus bila ada solusi berupa penghasilan alternatif bagi masyarakat.

Untuk mewujudkan harapan itu, Kadek mendaftarkan hasil temuannya ke Departemen Kehutanan guna mendapatkan sertifikasi budidaya kuda laut. Dengan sertifikasi itu, langkahnya memperluas budidaya nemo dan kuda laut secara besar lebih mudah.

”Budidaya ikan diharapkan menjadi alternatif penghasilan baru bagi masyarakat. Ini lebih baik ketimbang mengebom karang dan merusak populasi ikan,” katanya.

Tahun ini dia bertekad memijahkan empat jenis nemo lain, yakni Amphiprion sandaracinos, Amphiprion sebae, Amphiprion melanopus, dan Premnas epigrama. Di Indonesia terdapat 34 jenis ikan nemo yang tergolong ikan hias.

Menurut dia, salah satu kendala yang harus dipecahkan adalah rantai pemasaran yang serba tak pasti. Di antaranya harga ikan hasil budidaya yang relatif rendah atau dipatok sama dengan hasil tangkapan, kendati ikan hasil budidaya punya daya tahan hidup lebih baik.

Harga jual ikan nemo Rp 3.500 per ekor, jauh lebih rendah ketimbang harga ekspor yang 15 dollar AS per ekor. Adapun kuda laut Rp 10.000-Rp 15.000 per ekor, padahal harga ekspornya 20 dollar-25 dollar AS per ekor.

”Tanpa memecah persoalan pemasaran, upaya membangkitkan budidaya perikanan sulit tercapai,” tuturnya. *

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com