Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penobatan Demokrasi 160 Juta Dollar AS

Kompas.com - 22/01/2009, 05:04 WIB

Oleh Budiarto Shambazy

Sejak subuh 20 Januari itu, wilayah di sekitar The National Mall, Washington DC, yang panjangnya sekitar 3,2 kilometer dengan lebar sekitar 0,5 kilometer itu sudah diserbu ratusan ribuan orang. Komite Inaugurasi Kongres yang diketuai anggota Kongres, Dianne Feinstein, sempat memperkirakan jumlah pengunjung bisa membeludak melebihi 3,5 juta orang.

Data Washington Metropolitan Area Transit Authority menunjukkan pengguna subway 937.000 orang, memecahkan rekor lama 820.000 orang. Dari data ini, benarlah klaim media yang menduga jumlah penonton antara 1,5 juta sampai 2 juta orang. Dan, pengambilan sumpah berjalan lancar serta aman meski Komite hanya mengerahkan 15.000 aparat.

Saya tak bisa bergerak lagi saat menumpang subway dari Stasiun Van Ness ke Metro Center yang makan waktu sekitar sepuluh menit. Tiap wajah menyembulkan rasa gembira meski kami saling desak, sikut, dorong, tatap, dan ngobrol dari jarak amat dekat. ”Kemacetan manusia” terjadi tak saja saat penumpang naik-turun kereta, tetapi ketika masuk-keluar stasiun.

Begitu keluar di stasiun subway, pengunjung langsung dipilah. Sejumlah 240.000 yang dapat tiket/undangan langsung ke Gerbang Biru, Oranye, Kuning, dan Ungu. Berhubung jalan-jalan yang mengepung The Mall ditutup, perjalanan ke gerbang makan waktu rata-rata sejam. Setelah itu, makan waktu sejam lagi saat antrean karena pemeriksaan yang ekstra ketat.

Pengunjung tanpa undangan yang sekitar 1,5 juta saja diperiksa lewat detektor metal dan penggeledahan badan. Tiap orang dilarang membawa benda apa pun—termasuk payung dan tas—kecuali telepon genggam dan kamera. Saat upacara dimulai terlambat sepuluh menit dari jadwal pukul 11.30, semua orang tertib berada di tempat masing-masing. Ribuan orang yang urung masuk ke The Mall tak perlu kecewa karena dapat menyaksikan lewat puluhan JumboTrons yang tersebar.

Saya kebagian kursi sekitar 100 meter dari tempat Presiden Barack Obama diambil sumpah di balkon Capitol Hill. Kisaran suhu sejak pagi sampai tengah hari antara minus 7 sampai minus 2 derajat Celsius. Walau pakaian berlapis-lapis dan ada sedikit siraman Matahari, rasa dingin amat menusuk. Langkah bagus teruslah bergerak agar sirkulasi darah lancar.

Beruntung ada tayangan kedatangan VIP berdatangan yang dapat disaksikan lewat JumboTrons sehingga bisa berteriak. Teriakan, ledekan ”boooo”, tepuk tangan, tawa, dan koor ”O-ba-ma” atau ”Yes We Can” mencairkan kebekuan.

The Mall mulai menggeliat. Apalagi waktu Obama masuk ke balkon, gendang telinga serasa pecah. Koor ”O-ba-ma” dan ”Yes We Can” sempat kompak barang satu-dua menit. Tak lama setelah itu, suasana terasa lebih syahdu, apalagi ketika jutaan orang bersama-sama mengucapkan doa dan menyanyikan lagu kebangsaan.

Rekor teriakan ”boooo” dipecahkan oleh Senator Joe Lieberman, sang kutu loncat. Ia asli Demokrat, bahkan pernah jadi cawapres untuk Kerry di pilpres 2004. Tahun 2006, dia keluar dari Demokrat dan terpilih lagi lewat jalur independen.

Suara ”boooo” dan ledekan penonton mengundang tawa ketika Wapres Dick Cheney masuk balkon dengan kursi roda. Ia cedera saat membereskan sendiri barang-barangnya di kantor wapres. Saat Presiden George W Bush muncul, tak banyak reaksi negatif. ”Soalnya saya senang Laura,” ujar lelaki di depan saya yang paling rajin berteriak saat ditanyai teman-temannya.

Pidato Obama yang diharapkan menjadi klimaks dalam acara inaugurasi terbesar dalam sejarah ini membosankan. Makanya, pidato itu hanya tiga kali mengundang standing ovation, pemandangan kontras dengan yang saya lihat ketika pidatonya di Chicago saat Election Night 4 November 2008. Namun, esensi pidato Obama sesungguhnya penting karena dengan tegas mengkritik berbagai kebijakan Bush yang memusuhi siapa saja. Obama mengulurkan tangan AS untuk tiap negara, bangsa, dan agama. Toh, ia minoritas hitam pertama sebagai presiden, yang menunjukkan wajah demokrasi AS yang universal.

Tak heran si lelaki tukang teriak di deretan kursi kami, juga puluhan orang lainnya, berlinang air mata mendengar pidato Obama. Tak heran juga semua orang menyebut pelantikan Obama sebagai sebuah ”penobatan demokrasi” (coronation of democracy). Orang yang bersumpah kepada Tuhan YME dan Konstitusi dengan Injil sama yang digunakan dalam pengambilan sumpah Presiden Abraham Lincoln tahun 1861 bukan hanya Obama seorang, tetapi semua warga AS.

Beban malu dan rasa bersalah kepada dunia akibat petualangan rezim Bush selama delapan tahun akhirnya terangkat dari bahu rakyat. Mereka tahu sampah yang diwariskan Bush bertumpuk-tumpuk: kegagalan menangkap Osama bin Laden, serbuan keliru ke Irak, pengintaian terhadap warga yang melanggar Konstitusi, penyiksaan di Guantanamo dan di lokasi-lokasi lain yang melanggar HAM.

Bush juga yang menghabisi anggaran sehingga AS kini punya utang luar negeri lebih dari satu triliun dollar AS. Kebijakan ekonominya yang pro-pengusaha juga memicu krisis finansial yang meluber ke seluruh dunia. Mereka tampaknya mau memaafkan Bush dan rela menyapu sampah-sampah itu sehingga wajah AS bersih kembali lewat kepemimpinan Obama.

Ketika turun dari mobilnya dalam acara pawai di dekat Gedung Putih, Obama berlaku di luar protokol karena sebetulnya dia ingin menunjukkan bahwa rangkaian acara inaugurasi ini adalah pesta rakyat. Namun, apakah layak dana 160 juta dollar AS dihabiskan untuk pesta justru pada saat rakyat mengalami krisis finansial?

Saya tak tahu jawabannya kecuali mengutip pepatah lama, ”the king is dead, long live the king”. (Budiarto Shambazy, dari Washington DC)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com