Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mendung di Atas Habitat Bekantan Tarakan

Kompas.com - 19/12/2008, 08:07 WIB

LANGIT biru hampir bersih dari guratan awan menaungi Kota Tarakan, Kalimantan Timur, Jumat (21/11). Mentari bersinar terik, padahal sudah pukul 15.00 Wita. Namun, wajah Dullah Kadir (70) tak secerah petang itu. Tubuh lelaki penjaga Kawasan Konservasi Mangrove Bekantan (KKMB) itu terduduk letih di samping pintu masuk. Aura mendung dan suasana hati yang suram terpancar dari dirinya. Pandangan sayu seakan terlindung di balik kaca mata.

”Maaf, saya pernah bohong,” kata Kadir, kelahiran Tarakan pada 2 Februari 1938, dengan nada berat.

Waktu ditemui awal Agustus 2008, dia mengklaim ada 47 bekantan (Nasalis larvatus) di KKMB. Yang sebenarnya mungkin tidak sebanyak itu. Menurut dia, binatang yang populer disebut monyet belanda itu kini tinggal 18 ekor.

Dengan demikian, populasinya berkurang 29 ekor dalam tiga bulan atau seekor setiap tiga hari. Mengapa begitu? Menurut Kadir, ada yang mati karena tidak cocok dengan pakan yang diberikan dan atau lepas serta entah ke mana.

”Saya sudah tidak tahan menutupi kondisi sesungguhnya di KKMB ini,” kata Kadir, mantan pejuang pembebasan Papua (dulu Irian Jaya) 1961-1962 dan konfrontasi Malaysia-Indonesia 1963-1967.

Apa yang sesungguhnya sedang terjadi? Kadir mengakui, ia belum rela pengelolaan KKMB lepas dari tanggung jawabnya. Kini dia tidak lagi membelikan lalu memberikan pisang sebagai pakan pendamping untuk bekantan yang punya sebutan lokal bekara, raseng, pika, batangan, atau kahau.

Dia mengakui, pihaknya berkonflik kepentingan dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (LHSDA) Tarakan sebagai pengelola KKMB sejak awal tahun ini.

Informasi itu akhirnya didengar Wali Kota Tarakan Jusuf Serang Kasim. Yang bersangkutan amat kaget dan gusar sebab populasi bekantan merosot bila perkataan Kadir benar. ”Keterlaluan dan tidak boleh didiamkan,” kata Jusuf yang hampir 10 tahun menakhodai Tarakan sejak Maret 1999.

Lelaki kelahiran Tarakan pada 2 Februari 1944 itu amat mencintai KKMB. Dia merintis sejak tahun 2002 dari seluas 9 hektar menjadi 22 hektar. Bekantan yang awalnya cuma dua ekor ditambahi dengan didatangkan 29 ekor. Pengembangbiakan secara in situ atau dalam habitat cukup berhasil karena 14 bekantan lahir di KKMB. Populasi terakhir 47 ekor.

Prestasi itulah yang membuat Jusuf menerima Kalpataru sebagai Pembina Lingkungan pada tahun 2006 dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono serta Kota Peduli Kehutanan Terbaik II Tingkat Nasional 2008 dari Menteri Kehutanan MS Kaban.

Sehari kemudian atau Sabtu sore, Jusuf mengumpulkan pejabat tinggi seusai rapat evaluasi pendidikan. Disadari atau tidak, gesekan membuat KKMB agak terabaikan. Jusuf pun sedih sebab ternyata Kadir menolak mengambil uang honor pengelolaan sejak Mei 2008. Mungkin penolakan itu sebagai bentuk protes yang baru sekarang didengarnya.

Namun, yang jelas, KKMB patut diselamatkan. Semua spesies binatang liar, termasuk bekantan, yang hidup di sana terlalu berharga untuk musnah. Perjuangan selama ini memang mati-matian. Hutan diperluas lewat membeli tambak-tambak udang, lalu ditanami dengan mangrove atau bakau jenis perpat (Sonneratia alba) yang amat digemari bekantan.

Jusuf dengan tegas tidak rela bila KKMB hancur. Tempat itu dikunjungi 20-30 orang setiap hari dan 200-300 orang setiap Sabtu dan Minggu, atau hari libur. KKMB juga menjadi tempat belajar lingkungan hidup untuk murid TK-SMA dan mahasiswa, bahkan untuk penelitian.

Di KKMB hidup berang-berang (Aonyk cinera) yang datang saat air laut pasang. Ditemui juga 18 spesies kepiting, ikan tempakul atau mudskipper (Periopthalmus sp) yang bisa melompat atau memanjat pohon bakau sambil mengeluarkan bunyi klok-klok-klok.

Kera hitam/abu-abu (Trachypitheus villosus) dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) berbagi ruang dengan bekantan di kelebatan hutan bakau yang sebanyak 18 spesies. Primata itu mungkin selalu waspada sebab juga hidup bersanding dengan biawak (Varanus salvator) dan elang bondol (Haliastur Indus) sang pemangsa. Sebanyak 32 spesies burung, termasuk raja udang (Todiramphus chloris), juga hidup atau sekadar singgah di KKMB.

Semua kekayaan itu dulu dipercayakan kepada Kadir sebagai koordinator pengelola. Uang retribusi bisa dipakai untuk memperbaiki papan jembatan kayu ulin yang dibangun di dalam KKMB ketika rusak atau patut diganti. Kadir dikenal dekat dengan bekantan dan secara alami berdasarkan pengalaman tahu perilaku binatang itu.

Saat dinakhodai Kadir, pengelolaan KKMB awalnya diawasi oleh Kecamatan Tarakan Barat tahun 2002-2003. Pengawasan kurun 2003-2004 berpindah ke Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Selanjutnya pengawasan kembali ke Kecamatan Tarakan Barat hingga akhir tahun 2007.

Dalam kurun waktu tersebut, Kadir merasa masih leluasa mengelola KKMB. Dia bahkan mengajak dua kerabat keluarga untuk ikut mengelola kawasan. Pekerjaan sebagai nelayan sejak seusai perang ditinggalkan agar bisa fokus cuma untuk mengelola KKMB. Dia diganjar Rp 1 juta per bulan.

Namun, sejak diawasi Dinas LHSDA Tarakan, Kadir merasa ruang geraknya terbatas. Dia tidak boleh lagi mengurusi pakan. ”Saya pernah dilarang bicara dengan wartawan, tetapi akhirnya tidak tahan,” katanya.

Kepala Dinas LHSDA Tarakan Subono mengatakan, pembatasan wewenang dilakukan sebab Kadir bukan pegawai negeri sipil. Aliran dana hasil retribusi juga harus jelas berapa yang masuk dan berapa yang keluar. Model seperti itu dinilai lebih baik daripada ala Kadir.

Nah, yang jelas, pertanyaan sederhana belumlah terjawab. Berapa sebenarnya populasi bekantan di KKMB saat ini? Semua pejabat yang hadir dalam rapat sore itu diam. Memang mereka mengakui cuma Kadir yang tahu sebab sehari-hari bersama bekantan. Namun, bisa saja populasi disebut berdasarkan suasana hati. Saat senang disebut 47 ekor, tetapi ketika sedih menjadi 18 ekor.

Oleh sebab itu, Jusuf memerintahkan pengelola minta bantuan ahli satwa untuk pendataan. Pantauan harus dilakukan tiap hari dan terdokumentasi. Peran Kadir tetap penting meski belum diputuskan modelnya.

Mendung di KKMB bisa jadi berganti cerah atau malah kian kelam. Bekantan dan semua penghuni KKMB serta warga tampaknya menunggu penyelamatan paru-paru kota berpenduduk 177.000 jiwa itu.

Ambrosius Harto Manumoyoso

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com