Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Meretas Jalan Memberantas Anemia

Kompas.com - 10/10/2008, 03:00 WIB

Oleh EVY RACHMAWATI

Terik mata hari terasa menyengat. Sejumlah perahu nelayan tertambat di dermaga yang terletak di bibir pantai di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Tumpukan sampah teronggok di dekat dermaga. Semilir angin laut menebarkan bau menyengat yang bersumber dari sampah ke seluruh penjuru perkampungan nelayan yang padat di pulau itu.

Di bawah terik matahari, Seli (6) asyik bermain di pekarangan rumahnya yang terletak hanya beberapa meter dari dermaga di Kepulauan Seribu, Jakarta. Dengan bertelanjang kaki, bocah kurus itu berkejaran bersama sejumlah temannya sambil tertawa riang. Setelah lelah berlarian ke sana kemari, anak perempuan berambut kemerahan itu pun menepi dari arena permainan.

Ia lalu mengambil sekotak jeli yang diletakkan di atas kursi kayu di teras rumahnya. Sambil menikmati jeli kesukaannya, bocah berkulit sawo matang itu mengamati tingkah teman-temannya yang masih bermain sambil sesekali berceloteh mengomentari jalannya permainan. Di sudut lain pekarangan itu sejumlah anak tampak mengorekngorek gundukan tanah.

Untuk mengisi waktu luang, anak-anak pesisir itu biasanya bermain di rumah warga yang masih memiliki pekarangan atau bermain pasir di tepi pantai. Terkadang mereka berenang di perairan sekitar pulau itu yang telah tercemar sampah rumah tangga. Di perkampungan nelayan yang padat itu nyaris tidak tersisa lagi lahan untuk bermain bagi anak-anak.

Sanitasi juga menjadi masalah utama di kawasan itu. Sebagian besar rumah di perkampungan itu tidak memiliki jamban sehingga warga harus buang hajat di tempat pemandian umum atau di tepi pantai. Kondisi yang telah berlangsung selama puluhan tahun itu membuat warga terbiasa buang air besar di tepi pantai yang juga menjadi tempat bermain anak-anak.

Kurangnya pengetahuan gizi para orangtua ditambah buruknya sanitasi lingkungan membuat anak-anak di daerah itu rentan terserang cacingan dan anemia. Padahal, uang jajan anak- anak itu tidak sedikit. Seli, misalnya, menghabiskan uang untuk jajan Rp 15.000 per hari untuk membeli aneka jajanan mulai dari mi gelas, es, dan jeli. Meski cukup makan aneka jajanan, ia menderita cacingan dan anemia. ”Kalau tidak dituruti nanti malah ngambek. Jadi, ya dibelikan saja,” tutur Saidah, ibu dari Seli.

Pertanda kurang gizi

Anemia atau kurang darah masih merupakan masalah kesehatan yang menonjol terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Penyakit ini ditandai rendahnya kadar hemoglobin (Hb) dalam darah. Hemoglobin merupakan pigmen protein yang memberi warna pada darah dan bertugas membawa oksigen ke paru-paru lalu didistribusikan ke seluruh jaringan dan organ tubuh untuk melakukan pembakaran yang menghasilkan energi.

Menurut kriteria Badan Kesehatan Dunia (WHO), anemia pada anak usia kurang dari 6 tahun ditandai kadar hemoglobin (Hb) kurang dari 11 gram per desiliter (dl). Pada anak usia lebih dari 6 tahun ditandai Hb kurang dari 12 gram per dl. Jika kadar hemoglobin rendah, seseorang akan cepat letih, lesu, lemah, pucat, pusing, dan mudah mengantuk. Penyebab langsung anemia adalah asupan makanan tidak cukup secara kuantitas dan kualitas, serta infeksi penyakit seperti cacingan.

Jadi, keadaan cacingan dan anemia merupakan indikasi kemungkinan gizi kurang sehingga menghambat tumbuh kembang anak. ”Anemia berdampak pada menurunnya daya tangkap dan konsentrasi yang akan berpengaruh pada prestasi belajar anak,” kata dr Djajadiman Gatot dari Divisi Hematologi Onkologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Data yang ada menunjukkan, penderita anemia defisiensi besi di kalangan anak-anak tergolong tinggi. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004, jumlah penderita anemia pada anak usia 5-11 tahun mencapai 24 persen. Hal ini juga terlihat dari hasil pemeriksaan kadar Hb yang dilakukan Yayasan Kusuma Buana (YKB) terhadap para siswa di tiga SD di Pulau Kelapa, Panggang, dan Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta, yang menunjukkan 27,1 persen siswa kelas I SD menderita anemia.

Sementara itu, sebanyak 38,3 persen dari anak SD bertubuh kurus dan 31 persen anak SD bertubuh pendek yang merupakan salah satu pertanda gizi kurang. Menurut Direktur Pelayanan Kesehatan YKB, jika ada sebagian anak di Kepulauan Seribu yang punya kadar Hb cukup tetapi kurang gizi, hal itu berarti mereka mendapat asupan makanan berprotein cukup tinggi yang bisa diperoleh dari ikan, tetapi asupan makanan yang dikonsumsi dan kecukupan gizi di luar protein kurang.

Keterkaitan antara tingginya angka kasus anemia, cacingan, dengan daya tangkap seorang anak dapat terlihat dari rendahnya tingkat kelulusan dalam ujian nasional para siswa di Kepulauan Seribu. Selain disebabkan rendahnya mutu pendidikan, tingginya angka ketidaklulusan ujian nasional di kabupaten itu juga dipengaruhi konsentrasi dan daya tangkap para siswa.

”Kondisi cacingan, anemia, dan gizi kurang pada anak usia sekolah di Kepulauan Seribu memprihatinkan. Ini berdampak buruk pada kemampuan belajar dan kualitas hidup generasi mendatang di Kepulauan Seribu. Kondisi ini terkait perilaku hidup bersih dan sehat, mutu sanitasi, dan lingkungan,” kata Direktur Eksekutif YKB Firman Lubis. Oleh karena itu perlu ada intervensi kesehatan dan pendidikan yang berkelanjutan.

Intervensi berhasil

Untuk menurunkan angka anemia di kalangan anak balita, ibu anak balita, ibu hamil dan menyusui, kader posyandu serta siswa sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah umum, pada tahap awal YKB melakukan inter- vensi di Pulau Panggang dan Pulau Pramuka. Nantinya, upaya penanggulangan anemia juga akan dilakukan di pulau-pulau lain di kawasan Kepulauan Seribu.

Setelah melakukan pemeriksaan darah untuk mengetahui anemia, YKB bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia, Perhimpunan Perusahaan Farmasi Internasional, dan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu akan memberi suplemen besi bagi mereka yang mempunyai kadar Hb di bawah normal. Pemberian itu dilakukan dua kali seminggu selama 12 pekan sesuai panduan Departemen Kesehatan.

Program makan bersama di sekolah dengan menu bergizi seimbang juga dilakukan agar kecukupan gizi para siswa terpenuhi dan terjadi proses pembelajaran kepada orangtua dan interaksi antara guru dengan orangtua.

Program serupa pernah dilakukan kepada 5.736 siswa SD di Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Jakarta Utara. Dengan intervensi pemberian pil zat besi, penderita anemia dan gizi buruk dari total siswa yang semula 35 persen menderita anemia turun menjadi tinggal 15,4 persen.

Di Kepulauan Seribu, YKB juga berhasil menurunkan prevalensi cacingan di kalangan siswa SD dalam kurun waktu sembilan tahun. Setelah melaksanakan pemberian obat cacing dan penyuluhan mengenai perilaku hidup bersih dan sehat bagi para siswa dan orangtua mereka, prevalensi cacingan pada siswa SD di Pulau Panggang dan Pulau Pramuka berhasil diturunkan secara drastis. Jika pada tahun 1997 prevalensinya mencapai 82,7 persen, pada tahun 2006 prevalensi cacingan hanya 19,4 persen.

Hal ini diharapkan juga diikuti keberhasilan dalam penurunan angka anemia di Kepulauan Seribu. Tentunya hal tersebut hanya bisa dicapai apabila pemerintah daerah setempat memiliki komitmen kuat dalam mengatasi masalah cacingan, anemia, dan gizi kurang yang terkait dengan kualitas generasi mendatang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com