Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia Krisis Taksonom

Kompas.com - 22/08/2008, 00:48 WIB

Jakarta, Kompas - Indonesia dikenal memiliki biodiversitas tertinggi di dunia, tetapi ironisnya tenaga ahli yang menekuni ilmu taksonomi atau pengklasifikasi organisme hidup di negeri ini sangat langka. Di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tidak sampai 100 orang.

Padahal ilmu ini penting untuk memperkaya ilmu biologi, pertanian, pangan, farmasi, dan kedokteran, hingga industri. Untuk itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) akan merekrut sebanyak mungkin taksonom.

Hal ini dilontarkan Kepala LIPI Umar A Jenie dalam sambutannya pada pengukuhan tiga profesor riset di Jakarta, Kamis (21/8). Majelis Profesor Riset yang diketuai Kepala LIPI mengukuhkan tiga profesor riset di lingkungan LIPI, yaitu pakar biota laut Dr Rachmaniar Rachmat (62) untuk bidang pengkajian ilmu dasar dan terapan oseanologi, pakar bioteknologi Tarzan Sembiring PhD (50) untuk bidang mikrobiologi, dan pakar taksonomi Johanis Palar Mogea (61) untuk bidang botani.

Menurut Endang Sukara, Deputi Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI, LIPI memerlukan taksonom dalam jumlah besar, antara lain untuk meneliti spesimen biota yang telah terkoleksi.

Koleksi spesimen LIPI, antara lain, tersimpan di Museum Zoologi—10 terbesar di dunia jumlah koleksi spesimennya—dan Herbarium Bogoriense—terbesar ketiga di dunia.

”Saat ini di Museum Zoologi tersimpan 2,5 juta spesimen serangga. Itu baru 10 persen serangga yang ada di Indonesia. Dari jumlah itu tak sedikit yang belum teridentifikasi jenis dan nama ilmiahnya,” ujarnya.

Di Herbarium Bogoriense, ujar kepala pusat koleksi itu, Eko Baroto, ada sekitar 2 juta spesimen terdiri dari ratusan famili tumbuhan. Spesimen teridentifikasi hingga spesies, ada sekitar 85 persen.

Di pusat koleksi hanya ada 19 taksonom. Karena itu, ditetapkan 11 prioritas famili tumbuhan yang akan diidentifikasi yang memiliki potensi ekonomi. Prioritas pertama adalah identifikasi famili pandanace atau pandan-pandanan.

Regenerasi mandek

Dari jumlah taksonom yang sedikit itu beberapa di antaranya telah pensiun dan berusia lanjut, bahkan meninggal dunia, tetapi hingga kini belum juga diperoleh penggantinya. Misalnya, Indrawati Ganjar, pakar kapang rhizopus, dan Mien Rifai, pakar fungi (jamur), yang telah lanjut usia. Menurut Rachmaniar yang juga Ketua Kelompok Penelitian Produk Alami Laut, sejak meninggalnya pakar taksonomi sponge (spons) LIPI, Iksan Amir, hingga kini belum ada penggantinya.

Manfaat untuk asing

Ketiadaan taksonom spons, ungkap Rachmaniar, menyebabkan sampel-sampel temuan itu di perairan Indonesia dikirim ke luar negeri. Hal ini rawan pencurian oleh pihak asing dari temuan itu untuk kepentingan mereka.

”Ini merupakan permasalahan nasional karena LIPI adalah center of excellence bagi kegiatan taksonomi di Indonesia,” ujarnya.

Dengan mempelajari jenis spesimen, lanjut Endang, bisa terungkap karakter dan kegunaan zat dikandungnya sehingga lebih lanjut diteliti pembudidayaannya. Pengetahuan taksonomi ini dapat mendukung pemanfaatan ekonomi sumber daya hayati.

Endang mengambil contoh penelitian aktinomisetes—sumber hayati bahan obat antibiotik— yang dilakukan peneliti LIPI di Kebun Raya Bedugul, Bali, saja berhasil menemukan sekitar 50 spesies, 30 persen di antaranya spesies baru. ”Penemuan ini berpotensi untuk pengembangan obat antibiotika baru, karena yang beredar di pasaran saat ini telah resisten,” ujar Endang.

Diakui Sekretaris Utama LIPI, Rochadi Abdulhadi, ”Perbandingan tenaga S-1 bidang taksonomi yang mendaftar perbandingannya tidak sampai 1 banding 1.000,” ujarnya.

Oleh karena itu, untuk meningkatkan jumlah tenaga di bidang taksonomi botani, pihaknya merekrut tenaga S-1 di bidang biologi untuk dibina dan diminta meneruskan pendidikan taksonomi. Untuk ini, LIPI telah menjalin kerja sama dengan IPB untuk mendidik peneliti melanjutkan ke jenjang S-2 dan S-3. Dari program itu dihasilkan 5-6 lulusan S-2 per tahun. (YUN)

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com