Penelitian yang disusun oleh Nick Coles, kandidat Ph.D psikologi sosial Universitas Tenessee, mengamati data selama 50 tahun dan 300 eksperimen soal raut wajah.
Hasilnya, jika 100 orang tersenyum, hanya tujuh yang merasa lebih bahagia. Penelitian yang dipublikasikan di Psychological Bulletin ini juga memuat efek dari raut wajah lainnya.
Rupanya, cemberut juga tak terlalu berpengaruh pada perasaan tidak menyenangkan.
"Efeknya sangat kecil," kata Coles seperti dikutip dari NPR.org.
Efek senyum pada kebahagiaan mulau diperdebatkan beberapa tahun lalu. Pasalnya, banyak penelitian yang gagal membuktikannya.
"Perdebatannya sudah berlangsung setidaknya 100 tahun sejak awal kemunculan psikologi," kata Coles.
Klaim senyum bisa membuat bahagia pertama diteliti pada 1988. Penelitian itu meminta responden untuk menaruh pulpen di antara giginya, sehingga wajah berbentuk seperti senyum. Para responden tak menyadari mereka sedang tersenyum dan mengira sedang memeragakan cara penyandang disabilitas menulis dengan mulut.
"Itu penelitian pertama yang menunjukkan senyum bisa mempengaruhi perasaan bahkan ketika responden tak sadar mereka sedang tersenyum," ujar Coles.
Ketika makin banyak penelitian yang gagal mereplikasinya, kesimpulan itu menjadi perdebatan. Hanya ada satu penelitian di Israel yang mampu mereplikasinya karena responden tidak sadar sedang diamati atau direkam.
Senyum palsu
Paula Niedenthal, psikolog Universitas Wisconsin-Madison mengatakan klaim senyum membuat bahagia cukup rumit. Hasil yang berbeda antara penelitian satu dengan lainnya bisa jadi karena ada banyak jenis senyum.
"Tidak semua senyuman tulus senyuman bahagia," kata Niedenthal.
Ada senyum sarkas seperti menyindir, ada senyum berseri-seri, ada juga senyum meringis. Ada banyak gaya tersenyum, dan perlu direplikasi tanpa paksaan pulpen.
Meski sebagian besar penelitian menunjukkan tak ada salahnya tersenyum, ada penelitian yang menyimpulkan terlalu sering memaksa senyum bisa berdampak negatif.
Salah satunya, penelitian yang mengungkap bahwa mereka yang bekerja di bidang pelayanan dan harus tersenyum untuk pelanggan, lebih mungkin mabuk-mabukan sepulang kerja. Itu diduga karena pekerja yang tidak bahagia dipaksa harus tersenyum.
"Kita harus terus mengamati topik ini setidaknya," kata Niedenthal.
Sembari menunggu penelitian yang lebih dalam soal efek senyum pada perasaan, Niedenthal mengatakan tak perlu menyuruh orang tersenyum ketika dia sedang sedih.
"Karena saya tahu ketuka saya sedih dan disuruh orang tersenyum, ini membuat saya lebih marah," kata dia.
"Senyum tidak akan membuat perubahan penting dalam hidup Anda," lanjutnya.
https://sains.kompas.com/read/2019/07/05/110000923/tak-perlu-memaksakan-diri-tersenyum-senyum-tidak-jamin-kebahagiaan