KOMPAS.com - Misteri cara orang-orang Sherpa bertahan hidup di cuaca ekstrem pegunungan Himayala akhirnya terungkap.
Sherpa kebanyakan berprofesi sebagai pemandu gunung Everest. Selama ini peneliti bertanya- tanya, bagaimana para pendaki gunung ini bisa begitu tangkas membantu pendaki puncak Everest yang terkenal sulit ditakhlukkan.
Medan yang berat serta cuaca ektrem membuat kebanyakan orang akan mengalami hipoksia atau kekurangan oksigen serta penyakit ketinggian yang sangat menganggu saat mendaki gunung Everest. Tetapi hebatnya sherpa bisa bertahan.
Sebuah studi yang dilakukan peneliti Universitas Cambridge Inggris berhasil mengungkap, Sherpa ternyata lebih efisien dalam menggunakan oksigen. Ini membuat mereka lebih tangguh dibandingkan orang-orang yang berasal dari dataran rendah.
"Sherpa telah menghabiskan ribuan tahun tinggal di tempat yang tinggi. Jadi tidak mengherankan jika mereka bisa beradaptasi jadi lebih efisien dalam menggunakan oksigen dan menghasilkan energi," kata Andrew Murray ahli fisiologi Universitas Cambridge Inggris seperti dikutip dari Science Alert, Selasa (23/5/2017).
"Saat kita yang berasal dari dataran rendah menghabiskan waktu di ketinggian, badan kita akan beradaptasi seperti Sherpa, tapi kita tidak bisa menyamai efisiensi mereka," lanjutnya.
Penelitian yang disebut dengan Xtreme Everest 2 ini melibatkan dua kelompok yang terdiri dari 10 orang Eropa dan 15 orang Sherpa. Mereka diminta melakukan pendakian ke base camp Everest yang terletak di ketinggian 5.300 meter.
Murray dan timnya mempelajari fisiologi dengan melakukan analisis darah dan otot sebelum dan sesudah pendakian.
Pengukuran menunjukkan, pada ketinggian dasar, mitokondria Sherpa lebih efisien menghasilkan senyawa adenosin trifosfat (ATP) yang memungkinkan transfer energi ke dalam sel.
Selain itu, orang Sherpa punya kadar oksigen lemak yang lebih rendah, menunjukkan bahwa mereka lebih banyak menghasilkan energi dari gula bukan dari lemak.
"Lemak adalah bahan bakar yang hebat, tapi masalahnya lemak lebih banyak mengambil oksigen dibandingkan glukosa," jelas Murray.
Para peneliti mengaitkan ini dengan keunggulan gen yang dimiliki sherpa yaitu gen peroksisom proliferator-activated reseptor A (PPARA) yang membakar glukosa lebih banyak daripada lemak saat menghasilkan energi.
Hasil pengukuran pada Sherpa juga tidak banyak berubah ketika mereka mendaki di lingkungan pegunungan. Namun, pengukuran secara bertahap berubah untuk kelompok orang yang berasal dari dataran rendah, menunjukkan bahwa mereka perlahan menyesuaikan diri dengan ketinggian.
"Eksperimen ini menunjukkan metabolisme yang berbeda untuk kedua kelompok," tambahnya.
"Selain itu, Sherpa juga memiliki jaringan kapiler yang lebih kaya sehingga oksigen dapat terbawa lebih baik ke jaringan," ungkap Murray.
Riset yang telah di publikasikan dalam Proceedings of National Academy of Sciences ini nantinya akan membantu mengembangkan cara baru untuk mengatasi hipoksia dan perawatannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.