Bertepatan dengan Hari Kesehatan Dunia 7 April, tahun ini tema yang diangkat WHO adalah Depression: Let's Talk (Depresi: Ayo Bicara).
Dalam pertemuan Asian Central Nervous System Summit 2017 ke-5 di Seoul, Korea Selatan, awal Maret yang saya hadiri ini, perkembangan terbaru mengenai gangguan depresi dan kecemasan menjadi lebih bermakna karena sesuai dengan tema yang akan diangkat WHO.
Data tahun 2014 menunjukkan, ada 98,7 juta jiwa yang mengalami gangguan depresi. Depresi sendiri adalah diagnosis gangguan jiwa yang pernah dialami oleh 17 persen orang di dunia.
WHO di situs resminya mengatakan ada 300 juta jiwa yang pernah dan masih mengalami depresi. Angka kejadian depresi di Asia Tenggara sendiri berkisar 4 persen dan di Asia Selatan sekitar 8,1 persen. Angka ini sebenarnya dalam kisaran angka prevalensi depresi di Asia yang berkisar 1,1 -19,9 persen (Chiu, et al, 2004).
Gejala depresi sering kali tidak dikenali. Beberapa orang yang kita temui sehari-hari juga sering kali tidak bisa membedakan antara depresi dan gangguan jiwa lainnya.
Gangguan depresi adalah gangguan jiwa yang mempunyai gejala utama penurunan mood (suasana perasaan) dan tidak adanya motivasi/merasa putus asa. Kebanyakan pasien depresi di praktek sehari-hari mengatakan gejala yang dialami adalah kelelahan, insomnia, kecemasan dan tidak adanya motivasi.
Masalah depresi sering tidak tertangani baik dikarenakan karena terhalang terapinya oleh hal-hal seperti stigma, tidak terdeteksi di praktek sehari-hari, pembiayaan depresi yang tinggi dan terapi yang tidak seragam serta berdasarkan rujukan ilmiah yang jelas.
Masalah menjadi lebih besar karena gangguan depresi bukan hanya berbicara tentang gejala yang disebutkan di atas tetapi bagaimana depresi mempengaruhi kualitas hidup orang secara pribadi dan sosial.
Orang dengan depresi bisa saja mengalami kesembuhan dari gejalanya tetapi, selama fungsinya belum kembali seperti sedia kala maka bisa dikatakan kondisi dia belum sembuh benar.
Ada 97 persen pasien depresi sendiri mengatakan adanya gangguan fungsi dalam kehidupannya dan 42 persen di antaranya dalam kondisi yang berat.
Prof David Sheehan, psikiater dari Amerika Serikat, dalam presentasinya mengatakan, terapi depresi bukan saja untuk menghilangkan gejala depresi tetapi juga memperbaiki fungsi pribadi dan sosial pasien. Ini juga ditunjang dari data klinik bahwa kebanyakan pasien depresi mengalami lebih dulu perbaikan pada gejalanya daripada fungsi pribadinya sehari-hari.
Berkaitan dengan tema hari kesehatan sedunia nanti, maka ada baiknya untuk kita mulai sedikit memahami masalah depresi yang ada di sekitar kita. Jangan heran jika ternyata orang-orang terdekat kita mengalami masalah depresi.
Salah satu yang bisa kita bantu adalah menjadi pendengar yang baik dan membuat mereka, para orang yang mengalami depresi bisa berbicara tentang depresinya. Hal yang perlu diingat adalah bahwa depresi tidak sama dengan kesedihan biasa.
Depresi adalah suatu gangguan fungsi otak yang berakibat pada gejala-gejala depresi yang dialami pasien. Sering kali pasien depresi enggan untuk membicarakan depresinya karena sering dianggap sebagai orang yang manja, tidak bersyukur, tidak berserah diri dan kurang beriman. Bagaimana bisa mereka mau bicara jika di kepala kita sudah ada stigma yang kurang baik terhadap depresi.
Agar lebih memahami depresi mungkin kita bisa membekali diri kita dengan informasi mengenai depresi yang bisa dilihat di website WHO . Semoga informasi ini bisa membantu.
Mari Bicarakan Depresi dengan pikiran dan hati yang terbuka. Semoga kita juga bisa lebih memahami depresi.
Salam Sehat Jiwa.
dr.Andri SpKJ, FAPM
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.