KOMPAS.com - Badak Sumatera (Dicerorinus sumatranus) menghadapi tantangan berbeda daripada saudaranya, badak Jawa (Rhoniceros sondaicus). Populasinya tersebar dalam grup-grup kecil sehingga menyulitkan perkembangbiakan, menjadikan badak Sumatera lebih terancam dari badak Jawa. Perlu inovasi baru dalam pelestariannya.
Demikian pernyataan WWF Indonesia bertepatan dengan Hari Badak Sedunia yang jatuh pada 22 September atau hari ini.
“Upaya konservasi Badak Sumatera di Indonesia harus dilakukan dengan mengedepankan inovasi baru yaitu mendorong program pembiakan semi alami yang lebih aktif," kata Direktur Konservasi WWF Indonesia, Arnold Sitompul lewat rilis yang diterima Kompas.com, Kamis (22/9/2016). "Perlindungan habitat saja tidak cukup."
Pemerintah Indonesia punya target pertumbuhan populasi sebesar 10 persen untuk 25 satwa dilindungi. Sementara target itu hampir tercapai untuk badak Jawa, badak Sumatera masih jauh.
Populasi badak Sumatera pada tahun 1974 diperkirakan antara 400 - 700 individu. Meski langkah pengembangbiakan berhasil dengan kelahiran Andatu dan Dellilah dari pasangan Andatu dan Ratu, populasi badak Sumatera sebenarnya menurun.
Dalam 10 tahun terakhir, laju kehilangan badak Sumatera sebesar 50 persen. Di sejumlah kantung habitat seperti Kerinci Seblat, jejak badak Sumatera sudah tak ditemukan sejak tahun 2008.
Yuyun Kurniawan, Program Koordinator Proyek Ujung Kulon WWF-Indonesia mengatakan, "Untuk menyelamatkan Badak Sumatera yang semakin kritis, perlu adanya pendekatan konservasi berbasis spesies seperti yang dilakukan pada Badak Jawa."
Pelestarian berbasis spesies terbukti berhasil pada badak Jawa. Tahun 1970, populasi badak Jawa hanya 47 individu. Tahun 181, populasi bertambah menjadi 51 dan pada 2014 menjadi 57.
Yuyun mengatakan, harus ada upaya lebih untuk mengatasi hambatan reproduksi badak Sumatera. "Jika tidak dilakukan upaya-upaya proaktif untuk mengkonsolidasikan sub-sub populasi yang kecil tersebut, maka ancaman kepunahan lokal Badak Sumatera sangat mungkin terjadi.”