Baru-baru ini publik terhenyak menyaksikan keputusan Presiden Joko Widodo melepaskan amanah Menteri Pendidikan dari Anies Baswedan.
Baswedan, yang selama ini memiliki perhatian yang mendalam terhadap pendidikan karakter di seluruh pelosok Nusantara, harus berhenti melakukan perjuangannya dalam posisi strategis di negeri ini. Posisi ini digantikan oleh Muhadjir Effendy,
Seperti dikutip dalam berita Tempo, dalam pelantikannya, Presiden Joko Widodo berpesan kepada Effendy untuk bekerja optimal dalam hal pemerataan pendidikan dan ketenagakerjaan.
Tujuan pemerataan pendidikan di seluruh pelosok Nusantara merupakan isu penting, namun bagaimana dengan tujuan ketenagakerjaan sebagai target pendidikan?
Presiden menginginkan Indonesia memiliki orang-orang terampil yang siap bekerja memenuhi kebutuhan pasar.
Mungkin tujuannya mulia, namun di sini tersirat bahwa sekolah lebih berperan sebagai “pabrik tenaga kerja”. Orang-orang masuk tanpa ketrampilan dan kemudian keluar dengan “tenaga” yang siap dipakai. Apakah itu benar-benar tujuan pendidikan?
Di Amerika Serikat, sejumlah cendekiawan mulai aktif mengusulkan “Revolusi Pendidikan” seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi Artificial Intelligence atau AI. Dalam beberapa tahun ke depan, akan ada banyak pekerjaan yang bisa diambil alih oleh AI (automation).
Di Indonesia, contoh terdekat adalah aplikasi Gojek, Uber, dan Grab yang mengambil alih sebagian penghasilan ojek pangkalan dan juga taksi konvensional. Di masa depan, bukan tidak mungkin ada lebih banyak lapangan kerja yang tergantikan oleh AI.
Oleh karena itu, para ahli tersebut mengusulkan sebuah perubahan yang mendasar dalam sistem pendidikan.
Dalam artikel The Economist, “Re-educating Rita”, ahli AI, Joel Mokyr, seorang ekonom dari The NorthWestern University, mengatakan bahwa kita harus meninggalkan sistem pendidikan “pabrik tenaga kerja” seperti yang disiratkan oleh Presiden Joko Widodo.
Sistem ini memperlakukan manusia sebagai tanah liat, “shape it, then bake it, and that’s the way that it stays,”. Menurut Mokyr, kemauan untuk terus belajar seumur hidup adalah yang terpenting.
Perhatian Mokyr bukanlah main-main, pada awal tahun 2015, Bill Gates dan juga Stephen Hawking menulis surat terbuka yang mengajak para ilmuwan untuk melakukan penelitian mendalam untuk memaksimalkan pemanfaatan AI dalam kehidupan manusia.
Dan saat ini, perusahaan-perusahaan besar seperti Facebook, Google, Apple, dan Microsoft sedang melakukan penelitian besar-besaran terhadap bidang ini. Perubahan yang besar, jelas sedang terjadi.
Januari lalu, DeepMind, perusahaan AI yang dimiliki Google, mengalahkan manusia dalam permainan “Go”, sesuatu yang selama ini dikatakan tantangan terbesar dalam bidang AI.
Dalam permainan itu, Deep Mind menggunakan “deep learning”, sebuah bentuk kecerdasan artifisial yang menggunakan banyak algorithma sehingga sebuah komputer bisa mensimulasikan jaringan syaraf manusia yang bisa belajar melalui pengalaman.