Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Heru Margianto
Managing Editor Kompas.com

Meniti profesi sebagai jurnalis online di Kompas.com sejak tahun 2000. Meminati isu-isu politik, hak asasi manusia, dan keberagaman. 

Gerhana, Nyepi, dan Kita

Kompas.com - 09/03/2016, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHeru Margianto

KOMPAS.com – Gerhana matahari total (GMT) yang melintas kembali di atas nusantara hari ini disambut dengan gempita. Layaklah kegempitaan itu karena fenomena alam ini sungguh langka. 

Indonesia merupakan satu-satunya negara yang akan dilintasi GMT 2016. Totalitas gerhana akan dimulai dari Pagai Utara, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, pada pukul 7:18 waktu setempat dan berakhir di Maba, Maluku Utara, pukul 9:56 waktu setempat.

Para pemburu gerhana, mulai dari turis hingga peneliti mancanegara, berbondong-bondong mendatangi delapan kota di Indonesia yang dilintasi GMT untuk membidikkan kamera pengamatan mereka.

Bagi ilmu pengetahuan, GMT merupakan momen untuk membuktikan teori relativitas Einstein. Baca: Takengon, Kota Tempat Pembuktian Teori Relativitas Einstein

GMT hari ini seolah perayaan atas rasionalitas masyarakat Indonesia. GMT tidak lagi menjadi fenomena yang menakutkan seperti yang pernah terjadi tahun 1983.

Kala itu, Soeharto melarang masyarakat untuk melihat gerhana secara langsung karena dapat menyebabkan kebutaan. Tak ada satupun gugatan yang rasional tentang bagaimana menyiasati proses pengamatan gerhana.

Di era itu, bahkan ada lurah yang memerintahkan anak-anak diikat agar tidak keluar rumah. Ada juga dokter yang menganjurkan untuk menutup mata kambing dan hewan ternak lain agar tidak buta.

“Cuaca kultural dalam menyikapi gerhana sudah berubah,” kata astronom dan filsuf pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Karlina Supeli. Baca: Soeharto Gunakan Gerhana Matahari untuk Menguji Kekuasaannya.

Soal gerhana, peradaban manusia modern telah bertransformasi secara kultural. Dulu, saat manusia tidak memahami tentang apa yang terjadi saat siang tiba-tiba berubah menjadi gelap, muncullah beragam cerita untuk memaknai ketidaktahuan itu. Baca: Kisah Mereka yang Menelan Matahari.

Karlina mengingatkan, ”cuaca” kultural yang membaik adalah momentum bagi masyarakat untuk mengedepankan rasionalitas dan keilmuan. Peristiwa alam, kata dia, bukan untuk ditakuti, tapi untuk dipahami. GMT adalah momentum untuk mencerdaskan masyarakat dalam memahami dirinya dan lingkungannya.

TRIBUN BALI/RIZAL FANANY Pemuda Sekaa Teruna Teruni (STT) Mekarjaya Banjar Nagi saling lempar Kulit kelapa yang dibakar di depan Banjar Nagi, Ubud, Gianyar, Bali, Jumat (20/3/2015). Ritual Perang Api dilaksanakan STT Mekarya jelang pengerupukan atau sehari sebelum Nyepi.
Nyepi

Hal lain yang juga membuat hari ini istimewa adalah bahwa GMT jatuh berbarengan dengan perayaan Nyepi yang dirayakan umat Hindu. Nyepi berarti menarik diri dari segala kegaduhan.

Umat Hindu diajak untuk kembali ke ruang batinnya yang paling dalam, melakukan tapa berata, yoga, dan samadhi. Ia diajak berkaca tentang kayika-nya (perbuatan), wacika-nya (perkataannya), dan manacika-nya (pikirannya).

Sejak pukul 6 pagi hari ini hingga pukul 6 pagi esok hari umat Hindu "berhenti sejenak", diam, menempatkan hati di hadapan yang ilahi yang bersemayam di dalam diri.

Kebijaksanaan menyepi untuk kembali ke ruang batin sesungguhnya ada dalam setiap tradisi agama manapun. Sumber agung kebijaksanaan sejati ada di dalam diri. Paulo Coelho melukiskan dengan sangat indah perjalanan ke dalam diri sendiri di novelnya yang memukau, The Alchemist.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com