Istvan Szapudi, astronom yang memimpin studi di University of Hawaii di Manoa, mengatakan bahwa obyek tersebut kemungkinan "merupakan benda tunggal terbesar yang pernah ditemukan oleh manusia".
Obyek terbesar itu ditemukan saat Szapudi dan tim tengah mempelajari fenomena "area dingin" atau "cold spot" di alam semesta. Area itu memiliki materi 20 persen dan galaksi 10.000 lebih sedikit dibanding area lain.
"Cold spot" merupakan area yang begitu misterius, ditemukan pada tahun 2004. Astronom hingga saat ini belum mampu menguraikan tentang asal-usul area tersebut serta dampaknya pada pemahaman akan asal-usul alam semesta.
Di tengah upaya menguraikan "cold spot", dalam satu studinya, Szapudi dan timnya menemukan supervoid terbesar ini. Dibandingkan dengan bagian alam semesta lain yang padat, supervoid bisa diumpamakan sebagai sebuah lubang.
Meskipun demikian, Andras Kovacs dari Eotovos Lorand University di Budapest yang juga terlibat studi mengatakan, "Supervoid tidak benar-benar kosong. Mereka hanya sangat kurang padat."
"Yang kami temukan adalah supervoid terbesar yang pernah ditemukan. Dengan kombinasi ukuran dan kekosongannya, supervoid kami sangat jarang. Kami memperkirakan hanya ada beberapa supervoid yang sebesar ini di alam semesta," imbuh Kovacs.
Penemuan supervoid ini sedikit memberi penjelasan tentang misteri "cold spot". Area itu mungkin lebih dingin dan memiliki lebih sedikit galaksi karena keberadaan supervoid besar di pusatnya.
Adanya supervoid bisa menguraikan misteri "cold spot" sebab dalam semesta yang terus mengembang seperti yang dipahami saat ini, foton cahaya akan bergerak lebih lambat ketika melintasi void.
Seiring memasuki supervoid, energi kinetik foton cahaya diubah menjadi energi potensial. Bayangkan pergerakan foton cahaya memasuki supervoid seperti manusia yang mendaki sebuah bukit.
Dalam semesta yang stasioner atau tak mengembang, foton cahaya akan mendapatkan lagi energi kinetiknya begitu keluar dari supervoid. Dengan demikian, kecepatannya akan sama cepat. Bayangkan seperti manusia yang turun gunung.
Namun, dalam semesta yang mengembang, skenarionya berbeda. Ruang akan lebih besar sehingga supervoid, jika dianggap sebagai bukit, akan lebih rendah ketika manusia menuruninya. Maka dari itu, kecepatan foton cahaya pun akan lebih lambat ketika keluar.
Meskipun memberi sedikit pencerahan, supervoid hanya menyumbang 10 persen dari anomali "cold spot". Jadi, penemuannya belum mampu memecahkan misteri "cold spot", malah menambah daftar pertanyaan yang harus dijawab.
"Sekarang kita harus menjawab bagaimana void itu terbentuk. Ini adalah fenomena yang sangat jarang," ungkap Roberto Trotta dari Imperial College London yang tak terlibat studi seperti dikutip The Guardian, Senin (20/4/2015).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.