KOMPAS.com - Ingatan pendek adalah musuh utama kesiapsiagaan. Sepuluh tahun setelah tsunami Aceh, ingatan terhadap tragedi itu semakin pudar. Rumah-rumah baru dibangun di tapak bencana. Padahal, jejak di dalam lapisan tanah yang digali dari sejumlah lokasi di Aceh merekam informasi tentang tsunami yang berulang kali melanda kawasan ini.
Awalnya adalah gempa berkekuatan M 9,3 yang melanda, Minggu, 26 Desember 2004, semenit sebelum pukul 09.00. Setengah jam kemudian, tsunami berketinggian hingga 35 meter yang menyapu Banda Aceh dan kota-kota lain di pesisir barat Pulau Sumatera, menewaskan 160.000 orang.
Tsunami ini adalah yang paling mematikan dalam catatan sejarah. Data dari Intergovernmental Oceanographic Commision (1999) dan National Geophysical Data Center serta World Data Center for Solid Earth Geophysics (2007) menyebut, tragedi Aceh adalah rajapati tsunami yang menewaskan 228.432 jiwa, disusul tsunami Taiwan pada 22 Mei 1782 yang menelan 50.000 korban jiwa, diikuti tsunami saat Krakatau meletus pada 27 Agustus 1883 dengan korban 36.417 jiwa.
Selain melanda Indonesia, tsunami pada 2004 itu menjalar di 21 negara lain di sepanjang Samudra Hindia. Namun, sebagian besar korban adalah warga Aceh yang awam soal tsunami. Hingga sebelum 2004, orang Aceh tak memiliki memori tentang tsunami.
Berada 260 kilometer dari pusat gempa, Banda Aceh adalah kota tua di tepi Samudra Hindia. Kota itu dipadati 177.881 orang yang sebagian besar bermukim di pantai. Selama 30 tahun, Aceh berada dalam dekapan konflik. Suara bedil dan bom bukan bunyi asing bagi warga. Maka, ketika suara serupa ledakan terdengar setelah gempa pagi itu, orang-orang di Banda Aceh mengira genderang perang kembali ditabuh. Mereka sama sekali tak mengira laut bisa menyerbu hingga jauh ke daratan.
”Bunyi ledakan setelah gempa, kami kira karena ada perang. Kami tak tahu soal tsunami. Bahkan, saat saya naik motor sambil teriak ada air naik, tak ada orang yang percaya,” kisah Muchtar (55), mantan Kepala Dusun Monsinget, Desa Kajhue, Aceh Besar. Muchtar kehilangan satu anaknya dalam tsunami ini.
Selain melenyapkan anak bungsunya, tsunami menewaskan 13 anggota keluarga besar Muchtar. Sebelum tsunami, jumlah warga Monsinget mencapai 2.238 jiwa. Setelah petaka, jumlahnya menyusut hingga tinggal 370 jiwa.
Namun, hanya tiga bulan di pengungsian, dia akhirnya kembali berhuni di bekas rumah lamanya. Rumah itu hanya sejarak 800 meter dari tepi laut. Seperti kebanyakan warga Aceh, Muchtar memilih pulang ke kampung halaman. ”Hanya sedikit korban selamat yang tidak mau kembali. Hampir semuanya kembali ke sini,” kata Muchtar. ”Sekarang, jumlah penduduk di Monsinget sudah sama seperti sebelum tsunami.”
Penduduk Aceh memang pulih cepat. Misalnya, di Banda Aceh, sebelum tsunami 2004, jumlah penduduk 239.146 jiwa. Sebanyak 61.265 penduduknya tewas atau hilang saat tsunami atau tinggal 177.881 orang pada 2005. Survei tahun 2013, jumlah warga Aceh sudah 249.282 orang. Sebagian besar kembali bermukim di tepi pantai. Mereka meyakini, tsunami tak akan kembali datang untuk kedua kali. ”Bisul tak akan tumbuh di tempat sama dua kali. Lagi pula, kalau ada tsunami lagi, jika sudah takdir, ke mana pun akan mati,” katanya.
Jejak geologi
Ketika masyarakat mulai lupa dengan tragedi itu, para ilmuwan mulai menemukan bukti-bukti bahwa tsunami 2004 hanya perulangan dari kejadian lalu. Dengan melacak deposit tsunami di Meulaboh, Aceh Barat, dan Pulau Phra Thong, Thailand, dua tim peneliti menemukan, dalam kurun 1.000 tahun terakhir, kawasan Samudra Hindia pernah dilanda dua tsunami raksasa sebesar 26 Desember 2004.
Tujuh peneliti menggali deposit tsunami di Phra Thong. Adapun peneliti yang melakukan penggalian di Meulaboh adalah Katrin Monecke, Willi Finger, David Klarer, Widjo Kongko, Brian G McAdoo, Andrew L Moore, dan Sam U Sudrajat. Tim yang menggali di Phra Thong menemukan jejak tsunami raksasa terjadi sekitar tahun 1300-1450, sementara tim di Meulaboh menemukan jejak tsunami pada 1290-1400. Mereka juga menemukan tsunami terjadi dalam kurun 780-900. Hasil riset kedua tim yang bekerja terpisah itu dipublikasikan di majalah Nature Vol 455 edisi 30 Oktober 2008.
Belakangan, penggalian lapisan lantai goa di kawasan Lhong, Aceh Besar, oleh peneliti dari Singapore Earth Observatory, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan peneliti Universitas Syiah Kuala menemukan jejak tsunami yang diduga menghancurkan peradaban Aceh pada masa lalu. ”Dari penanggalan lapisan tanah di reruntuhan benteng di Lamreh, Kecamatan Krueng Raya, Aceh Besar, kami menemukan dua pelapisan tsunami. Jejak pertama berasal dari tsunami yang terjadi akhir tahun 1300 dan satu lagi pertengahan 1450,” kata Nazli Ismail, pengajar Jurusan Fisika Universitas Syiah Kuala, yang turut dalam penelitian itu.
Tim itu juga menemukan jejak tsunami hebat berulang kali melanda pantai Aceh. Di Lhok Cut dan Ujung Batee Kapal, Kecamatan Mesjid Raya, Nazli dan tim menemukan sisa bangunan kuno terkubur pasir hingga kedalaman 380 sentimeter, keramik-keramik, dan sumur kuno. ”Di setiap temuan artefak, ada lapisan endapan tsunami,” kata Nazli.