Dari rilis itu, tak ada fenomena cuaca istimewa. Cuma informasi adanya siklon tropis Vongfong dan bibit siklon tropis di Laut Andaman. Selebihnya ialah potensi hujan ringan dan hujan sedang di sejumlah daerah.
Namun, informasi yang secara meteorologi tak begitu istimewa tiba-tiba jadi perhatian. Sebabnya, bakal ada gerhana bulan total yang langka pada Rabu (8/10/2014) senja.
Gerhana bulan total yang disisipi dengan fenomena selenelion, yaitu saat bulan dan matahari terpisah 180 derajat, hanya bisa disaksikan bila langit cerah. Sementara itu, BMKG menginformasikan bahwa Jakarta Pusat, Selatan, dan Barat, berpotensi hujan ringan.
Menengok ke luar ruangan, langit memang sedikit mendung. Namun, masih ada harapan karena tak sepenuhnya gelap. Siapa tahu, begitu senja tiba, langit bakal sejenak cerah.
Sekitar 1,5 jam kemudian, Kompas.com bersiap-siap menuju ke Planetarium Jakarta di Kompleks Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. Himpunan Astronom Amatir Jakarta (HAAJ) menggelar pengamatan bersama yang terbuka untuk umum.
Sampai dalam 15 menit, Kompas.com menjumpai planetarium telah penuh oleh anak-anak, remaja, ibu-ibu, dan awak media.
Di lobi planetarium, sejumlah remaja berbaris. Petugas mengatakan, mereka antre untuk bisa melihat gerhana. Sementara itu, di sebuah ruangan di lantai 2, wartawan berkumpul untuk mendengarkan penjelasan tentang fenomena gerhana langka ini.
Waktu sudah menunjukkan pukul 17.40 WIB. Kompas.com memutuskan untuk naik ke lantai teratas planetarium, tempat pengamatan biasa digelar.
Di sana, telah berkumpul sejumlah anggota HAAJ. Mereka mempersiapkan sejumlah teleskop sehingga bila gerhana bisa terlihat, publik dapat menggunakannya untuk mengamati bulan lebih detail.
Melihat ke atas, langit ternyata mendung. Hingga pukul 17.46, langit tertutup awan. Jangankan selenelion, matahari yang tenggelam pun tak tampak.
Menjelang pukul 18.00 WIB, persiapan pengamatan pun dimulai walaupun awan masih menggelayut. Publik yang ingin melihat gerhana telah berada di tempat pengamatan, walau tak semua. Pewarta foto dan video siap dengan kameranya.
Pada waktu tersebut, gerhana bulan total sebenarnya sudah bisa dilihat. Waktu totalitas untuk wilayah Jakarta adalah 17.24-18.24 WIB.
Sayang, bulan tak kunjung menampakkan diri. Hingga pukul 18.30 WIB, awan tak menyingkir dari pandangan. Resmi sudah, gerhana bulan merah darah dan fenomena langka langka yang didamba batal datang.
Publik dan pewarta pun gigit jari. Foto bulan berwarna merah darah tak didapat. Publik pun tak bisa mengamatinya.
Di lobi planetarium, ratusan peminat fenomena gerhana mesti puas menonton live streaming gerhana dari Observatorium Griffith. Paling tidak, gambaran bulan yang berwarna merah darah bisa didapat dari tontonan itu.
Begitulah gerhana dan fenomena langit lainnya. Siapa pun bisa mendamba, tetapi lokasi dan cuaca yang menentukan penampakannya.
Meski demikian, tak perlu terlampau kecewa. Pasti ada kesempatan lain untuk mengamatinya. Astronom asal Perancis Peter Gassendi saja harus menunggu dari tahun 1643-1648 hingga dapat mengamati gerhana langka selenelion.
Bagi warga Indonesia, fenomena menarik yang bisa disaksikan dalam waktu dekat antara lain gerhana bulan sebagian pada April 2015 dan gerhana matahari pada 2016.