Hal itu diutarakan oleh sejarawan Aceh, Drs Rusdi Sufi dan Sekretaris Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa), Mizuar, kepada Serambi secara terpisah, Selasa (12/11/2013) kemarin.
Rusdi Sufi mengingatkan, koin emas yang diklaim sebagai alat tukar dan benda bersejarah peninggalan Kerajaan Aceh itu adalah benda yang dilindungi negara dan tidak boleh diperjualbelikan, sebagaimana diatur dalam salah satu pasal Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
“Dan kepada orang yang menemukannya, diberikan hak oleh negara,” kata Rusdi, dosen sejarah pada Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unsyiah.
Menurut Rusdi Sufi, penjualan benda bersejarah itu akan menghilangkan bukti sejarah Aceh.
“Benda-benda itu adalah bukti bahwa Kerajaan Aceh dulu adalah kerajaan yang berjaya dan makmur. Benda-benda itu seharusnya dijaga dan disimpan. Kalau tidak ada buktinya, maka kejayaan Aceh dulu hanya tinggal sebuah kisah belaka,” kata Rusdi yang juga mantan direktur Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA).
Dosen sejarah yang mendalami numismatik (ilmu tentang mata uang kuno) ini menambahkan, pemerintah bersama lembaga terkait seperti Balai Peninggalan Pelestarian Sejarah dan Purbakala berkewajiban melestarikan benda cagar budaya yang merupakan aset berharga bangsa.
Tindakan masyarakat sendiri yang memperjualbelikan temuan, menurut Rusia, menurut Rusdi, bukan sepenuhnya kesalahan masyarakat.
“Seharusnya benda-benda bersejarah yang bernilai tinggi seperti itu tidak boleh diperjualbelikan, namun hal ini terjadi karena pengetahuan masyarakat kita tentang benda cagar budaya masih sangat kurang. Karenanya pemerintah seharusnya lebih proaktif dengan menyosialisasikan Undang-Undang Cagar Budaya kepada masyarakat, agar masyarakat bisa memahami betapa penting dan bernilainya barang-barang peninggalan sejarah warisan budaya,” jelasnya.
Hal senada disampaikan Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa) melalui siaran persnya kepada Serambi Rabu kemarin. Sekretaris Mapesa, Mizuar menyatakan, pemerintah harus membeli kembali koin emas (dirham) yang telah dijual warga.
“Penemuan mata uang dirham ini oleh masyarakat Merduati menjadi bukti penguat kejayaan Aceh dulu yang saat ini justru sudah mulai diragukan sebagian kecil masyarakat Aceh. Keraguan ini karena minimnya peninggalan benda bersejarah pada zaman Kesultanan Aceh,” katanya.
Oleh karena itu, ia berharap Pemerintah Aceh dapat segera menindaklanjuti hal ini. “Sangat memprihatinkan apabila pemerintah dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh tidak merespons temuan ini. Sebenarnya penemuan benda sejarah seperti dirham ini tidak boleh dijual, karena ini adalah aset sejarah yang dilindungi undang-undang. Jikapun telah dijual, maka pemerintah harus membeli kembali agar ini menjadi barang koleksi museum yang dapat menjadi pengetahuan sejarah bagi generasi selanjutnya,” kata Mizuar.
Selain itu, ia juga berpesan kepada masyarakat yang menemukan benda peninggalan sejarah atau koin emas itu agar tidak langsung menjualnya, tetapi beri tahukan temuan itu ke Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh yang berada di Gampong Lampisang, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar. (Tribunnews.com)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.