Apakah Topan Haiyan Terkait Perubahan Iklim?

Kompas.com - 12/11/2013, 16:05 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis


KOMPAS.com — Topan Haiyan menerjang wilayah Filipina pada Jumat (8/11/2013) dengan kecepatan mencapai 275 km/jam. Topan menewaskan setidaknya 10.000 orang dan kekuatannya disandingkan dengan tsunami Aceh pada tahun 2004.

Akhir-akhir ini, banyak pakar menyatakan bahwa pemanasan global dan perubahan iklim meningkatkan intensitas badai. Namun, apakah benar bahwa topan Haiyan terkait dengan perubahan iklim?

The Guardian, Senin (11/11/2013), memberitakan, karena topan Haiyan baru saja terjadi, sulit untuk menyatakan kaitannya dengan perubahan iklim. Namun, ada beberapa alasan yang mendukung kaitan antara keduanya.

Pada dasarnya, perubahan iklim memang memengaruhi badai. "Kita tahu bahwa permukaan air laut memanas di planet kita, jadi itu menunjukkan dampak langsung perubahan iklim pada karakter badai," kata Will Steffen, peneliti iklim dari Australia National University.

Salah satu yang memengaruhi intensitas badai adalah perbedaan temperatur antara permukaan laut dan bagian inti badai. Perubahan iklim dikatakan memperbesar perbedaan itu sehingga memperkuat badai.

Beberapa penelitian telah menyatakan kaitan langsung perubahan iklim dengan badai atau siklon yang lebih kuat.

"Konsensus saat ini adalah perubahan iklim tidak membuat risiko akibat topan makin besar, tetapi ada argumen dan bukti bahwa ada risiko ancaman topan yang lebih kuat," ungkap Myles Allen dari University of Oxford.

Studi yang dipublikasikan di jurnal Nature Geoscience pada tahun 2010 menyatakan, pemanasan global dan perubahan iklim akan meningkatkan intensitas badai sementara jumlah badai akan berkurang. Artinya, lebih sedikit badai, tetapi lebih berbahaya. Hujan di wilayah bawah pusat badai juga diprediksi meningkat 20 persen.

Studi tahun 2013 oleh Kerry Emmanual dari MIT menyatakan, siklon dengan kategori 3 hingga 5 akan meningkat, demikian juga dengan siklon yang lebih kecil. Peningkatan siklon tropis akan terjadi di wilayah Pasifik Utara, seperti wilayah Filipina yang dihantam Haiyan.

Tahun 2011, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyatakan, rata-rata kecepatan angin pada badai akan meningkat. Namun, sulit untuk mengungkapkan hubungan langsung antara badai dan perubahan iklim.

Dengan dampak perubahan iklim pada badai, lebih banyak manusia terancam oleh badai. Bukan cuma badai, perubahan iklim juga meningkatkan risiko banjir.

Di COP-19 di Warsawa, Senin kemarin, tragedi topan Haiyan memicu drama sekaligus desakan untuk serius menangani isu perubahan iklim.

Yeb Sano, delegasi dari Filipina, mengatakan dengan tegas bahwa topan Haiyan terkait dengan iklim.

Ia mengatakan, "Sebagai solidaritas saya bagi rekan senegara saya yang tengah berjuang kembali mendapatkan makanan, saya akan dengan sukarela berpuasa, artinya saya akan menahan untuk tidak makan selama COP ini, sampai pertemuan ini membuahkan hasil berarti," katanya.

"Apa yang negara saya alami sebagai hasil dari fenomena iklim ekstrem adalah kegilaan, krisis iklim adalah kegilaan. Kita bisa menghentikan kegilaan itu di Warsawa," ungkap Sano seperti dikutip BBC, Senin.

Pidato Sano memicu tangis delegasi lain. Delegasi China meminta waktu untuk mengheningkan cipta guna berprihatin atas apa yang terjadi di Filipina.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Video Pilihan Video Lainnya >

Terpopuler

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau