Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Manfaatkan Peluang Emas Penuhi Hak Masyarakat Adat

Kompas.com - 05/09/2013, 18:40 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Ronald Lumban Gaol, salah satu anggota masyarakat adat Pandumaan, Sumatera Utara, dalam konferensi pers yang digelar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kamis (5/9/2013), memaparkan betapa kehidupan komunitasnya dirampas.

Masyarakat adat Pandumaan telah mengelola hutan kemenyan selama ratusan tahun. Mereka memanfaatkan getah kemenyan yang diperoleh dengan cara disadap sebagai sumber penghasilan. Namun, pasca izin pengelolaan diberikan kepada sebuah perusahaan pada tahun 2009, mereka kehilangan haknya.

"Wilayah perizinan itu tumpang tindih dengan wilayah hutan kemenyan kami," cerita Ronald dalam konferensi pers hasil Konferensi Global Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat yang diadakan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kamis (5/9/2013).

Ronald bercerita, perusahaan pemegang izin itu menebang hutan kemenyan. Warga kehilangan pohon yang menjadi sumber penghidupan. Upaya pencegahan penebangan dilakukan. Tapi, bukannya berhasil, warga justru dikriminalisasi.

"Ada tindakan pengamanan yang status hukumnya tidak jelas. Kami kehilangan hak dan merasa takut, hingga kami, terutama tetua-tetua adat, tidak berani keluar," papar Ronald yang hadir bersama rekannya, Arnold Lumban Gaol.

Konflik seperti di Pandumaan bukan satu-satunya. Kasmita Widodo, Koordinator Nasional JKPP, mengatakan bahwa asal usul permasalahan adalah soal tumpang tindihnya perizinan yang terjadi akibat tidak seragamnya peta.

Sekretaris Jenderal AMAN, Abdon Nababan, mengatakan, "Diperkirakan ada wilayah hutan seluas 6000 hektar yang mengalami konflik. Itu yang sudah kita ketahui. Saya memerkirakan sebenarnya lahan yang mengalami konflik jauh lebih besar."

Saat ini, Indonesia sebenarnya memiliki peluang emas untuk menyelesaikan konflik dengan masyarakat adat dan mengakui haknya. Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan Keputusan Mahkamah Konstitusi Hukum Nomor 35 /PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa Hutan Adat bukan Hutan Negara.

Pada Konferensi Global Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat yang digelar di Samosir, Sumatera Utara, 25-28 Agustus 2013 lalu, 102 peserta konferensi yang berasal dari masyarakat adat dunia mendukung keputusan tersebut dan mendorong tindak lanjutnya.

Poin utama yang didorong adalah pemetaan wilayah masyarakat adat secara partisipatif, melibatkan masyarakat adat itu sendiri. Diharapkan, pementaan wilayah masyarakat adat ini bisa menjadi langkah awal untuk mengupayakan pengakuan terhadap hak masyarakat adat.

Langkah pemetaan telah dilakukan. Masyarakat adat yang biasa mendeskripsikan wilayahnya secara lisan dan hanya dengan penanda tertentu diajak untuk berpartisipasi. Deskripsi dari masyarakat adat lalu diubah menjadi peta visual dengan bantuan GPS.

Untuk membantu pemetaan, AMAN turut melatih anak-anak muda untuk menggunakan GPS. "Kita targetkan pada tahun 2020 ada 40 juta hektar wilayah yang terpetakan. Sampai saat ini kita baru memetakan 7 juta hektar," ungkap Abdon.

Pemerintah juga telah memiliki kebijakan One Map Policy lewat UU Nomor 4 tahun 2011. Badan Informasi Geospasial (BIG) yang mengoordinir penyusunan satu peta nasional menyatakan dukungannya pada langkah pemetaan wilayah adat.

Sumaryono, Kepala Bidang Pemetaan, Kebencanaan dan Peruahan Iklim BIG, mengatakan bahwa hasil pemetaan partisipatif bisa diserahkan kepada BIG, yang kemudian menyerahkan hasil pemetaan kepada kelompok kerja menyusun peta nasional. Ada 12 kelompok kerja yang terlibat penyusunan peta itu.

Namun, pertanyaannya kemudian, bila peta telah selesai dibuat, bagaimana jaminan masyarakat adat untuk mendapatkan haknya? Contoh, di lahan konsesi yang tumpang tindih dengan wilayah masyarakat adat, bagaimana menjamin bahwa masyarakat adat nanti akan memenangkannya?

Abdon mengungkapkan, memang butuh keberpihakan kepada masyarakat adat. Setelah pemetaan, wilayah masyarakat adat bisa dibagi menjadi tiga, yang belum diserahkan kepada pihak lain lewat izin, yang sudah diserahkan namun belum dikelola, dan yang sudah diserahkan dan dikelola pihak lain.

"Kalau yang belum ada yang mengelola kita langsung berikan pada masyarakat adat. Jika sudah ada perizinan namun belum dikelola, kita bisa cabut perizinan  dan memberikannya pada masyarakat adat. Sementara, yang sudah dikelola, ini yang perlu dibahas," ungkap Abdon.

Abdon mengatakan, di lahan yang mengalami konflik, mediasi diperlukan. Tapi, saat ini, kata Abdon, belum ada kebijakan yang mendukung langkah penyelesaian dan mencerminkan keberpihakan pada masyarakat adat.

Hal tersebut, kata Abdon, yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah, misalnya dengan menerbitkan undang-undang atau instruksi presiden yang mendukung. "Kalau tidak, konflik besar bisa terjadi, bisa bunuh-bunuhan kita," katanya.

Peluang emas menyelesaikan konflik hutan dengan masyarakat adat perlu dimanfaatkan. Menyelesaikan konflik dan mengupayakan hak masyarakat adat lewat pemetaan partispatif dan kebijakan berarti mengupayakan tata kelola hutan yang lebih baik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com