KOMPAS.com - Gas rumah kaca menjadi aktor utama dalam isu perubahan iklim. Konsentrasi gas itu menentukan seberapa parah persoalan perubahan iklim. Para ilmuwan terus mengembangkan sistem pengukuran gas rumah kaca secara langsung.
Pengukuran dengan mengonversi jenis permukaan pengemisi gas memiliki banyak kelemahan karena sifat permukaan-daratan, air, dan pepohonan dengan berbagai jenisnya-amat variatif dengan variabel yang juga variatif. Dalam isu perubahan iklim, skema perdagangan karbon menjadi salah satu cara yang ditempuh banyak negara pengemisi gas rumah kaca (GRK) untuk mengurangi jejak karbon (carbon footprint) mereka.
Konsentrasi GRK (CO2-karbon dioksida, CH4-metana, N2O-nitrogen dioksida, HFC-hidrofluorokarbon, PFC-perfluorokarbon, dan SF6-sulfur heksafluorid) dikonversikan dengan gas karbon, selanjutnya disebut sebagai gas karbon. Negara pengemisi GRK ”membeli” gas karbon yang tidak diemisikan alias pengurangan emisi gas karbon dari negara lain. Untuk mendapatkan kesepakatan jumlah gas karbon, diperlukan proses pengukuran, pelaporan, dan verifikasi laporan (MRV).
Menggunakan data satelit Greenhouse Gases Observing Satellite (GOSAT), kita bisa mengukur kolom konsentrasi GRK dari permukaan tanah hingga batas bawah awan dan dari atas awan hingga lapisan atmosfer.
Menurut Muhammad Evri, peneliti utama satelit GOSAT dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, sistem GOSAT telah divalidasi dengan pengukuran di lapangan menggunakan asimilasi data parameter atmosfer, sistem Eddy Covariance Flux Tower (ECFT), pengukuran balon sonde (balon pembawa pengukur kelembaban udara, tekanan, temperatur, kecepatan, dan arah rata-rata angin), maupun data sensor Total Carbon Column Observing Network (TCCON).
Data GRK dari permukaan ditangkap menggunakan sensor Fibre Ethalon Solar for Carbon (FES-C)—sensor ini sering disebut sebagai ”napas bumi”. Sensor FES-C mampu mengukur konsentrasi kolom GRK dari permukaan sampai atmosfer. Sistem FES masih terbatas mengukur konsentrasi GRK hingga di bawah awan. Adapun ECFT dapat mengukur carbon budget (perhitungan jumlah karbon yang dilepas dan yang diserap) dari proses respirasi dan fotosintesis dalam suatu ekosistem (tumbuhan, tanah, dan air).
”Berbeda dengan ECFT, dengan GOSAT, kita bisa mengukur kolom konsentrasi GRK dari permukaan hingga di batas awan dan dari atas awan hingga sekitar 600 kilometer dengan cakupan yang luas,” kata Evri. Ketinggian GOSAT sekitar 666 kilometer di atas permukaan bumi. Satelit itu berputar mengelilingi bumi pada orbitnya.
Saat berkeliling di atas bumi, satelit membawa sensor khusus untuk mengobservasi karbon, yaitu Thermal and Near Infrared Sensor for Carbon Observation (Tanso). Dua sensor yang dipasang pada satelit adalah Tanso-FTS (Fourier-Transform Spectrometer) yang dipakai untuk mengukur konsentrasi polutan GRK di atmosfer dengan teknik diskriminasi spektrometer dan Tanso-CAI (Cloud Aerosol Imager) untuk mengukur polutan GRK khususnya aerosol.
Cara mengukur
Pengukuran konsentrasi GRK di udara dilakukan dengan mengukur GRK yang terbawa oleh polutan seperti aerosol dan mengukur panjang gelombang dari gas-gas dalam kolom udara. Saat terkena sinar matahari, gas merespons sinar matahari tersebut dengan memencarkan, menyerap, atau memantulkan sinar matahari, bergantung pada panjang gelombang sinar matahari yang sampai pada gas-gas.
Data untuk penghitungan konsentrasi GRK pada kolom udara dengan sistem GOSAT didapat menggunakan beberapa sensor yang mengindera kolom konsentrasi beberapa jenis GRK. Konsentrasi GRK hasil pengukuran merupakan nilai rata-rata penghitungan keseluruhan (budget) GRK di udara (dari polusi akibat aktivitas manusia) dan GRK yang tersimpan di permukaan hasil proses respirasi dan fotosintesis ekosistem (tumbuhan-tanah-air).
Dengan GOSAT, bisa didapatkan data dalam jumlah yang lebih banyak dan praktis karena hanya membutuhkan beberapa sensor pada satelit. Satelit mampu mengumpulkan data di 100.000 titik permukaan dalam tiga hari dengan jarak antardata 100 km-1.000 km. Adapun data dari permukaan dengan ECFT baru ada 274 stasiun di seluruh dunia (baca: mengumpulkan 274 titik data).
Satelit GOSAT juga bisa digunakan untuk mendeteksi polutan yang diemisikan dari kebakaran hutan. Dengan memanfaatkan sumber satelit Earth Observation System (EOS) lain dalam formasi tertentu, rambatan dari sumber titik api kebakaran lahan dan hutan dapat dideteksi sehingga sumbernya pun bisa dilacak.
Di Kalimantan Tengah, demikian Evri, tahun 2011 sudah dicoba mendata profil polutan GRK dari kebakaran lahan dan hutan hingga ketinggian 1.000 meter menggunakan sensor yang terpasang pada Tethered Helium Balloon. Untuk Indonesia, kata Evri, dibutuhkan algoritma khusus untuk mendapatkan data GOSAT di celah-celah awan. Ini terutama untuk daerah tropis karena banyak sekali awan. (Kompas)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.