Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pelambatan Angin Tingkatkan Intensitas Hujan

Kompas.com - 17/07/2013, 14:59 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Angin monsun tenggara dari Australia saat ini bertiup kencang di wilayah Indonesia timur, kemudian melambat di bagian barat karena dampak anomali di Samudra Hindia. Pelambatan angin itu memperbanyak awan hujan, menimbulkan hujan terus-menerus, hingga banjir di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, saat ini.

"Dampak pelambatan angin kencang seperti efek membendung air. Awan yang terbentuk mendatangkan intensitas curah hujan tinggi," kata Kepala Bidang Peringatan Dini Cuaca Ekstrem pada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Hariadi, Selasa (16/7/2013), di Jakarta.

Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho menyatakan, hujan lebat yang berlangsung sejak Senin lalu menyebabkan sedikitnya 13 sungai meluap di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan.

Di Kendari, data sementara menunjukkan, banjir menyebabkan 1 orang meninggal, 60 rumah rusak, 2 jembatan rusak, dan 1 jembatan hanyut tersapu arus sungai.

Di Konawe Selatan, banjir menyebabkan 1 orang meninggal, 350 rumah rusak, 8 rumah hanyut, dan 2 jembatan rusak. Menurut Sutopo, banjir mengakibatkan kenaikan permukaan beberapa sungai mencapai 2-3 meter.

Hariadi mengatakan, saat ini intensitas curah hujan tinggi tetap berpotensi di Sulawesi, Maluku, dan Papua bagian barat. Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan juga berpotensi hujan untuk beberapa hari ke depan.

"Wilayah Maluku dan sekitarnya saat ini memasuki musim hujan. Pelambatan angin memicu pembentukan awan yang lebih banyak," kata Hariadi.

Kondisi anomali di Samudra Hindia saat ini masih berlangsung dengan suhu sekitar 2 derajat celsius di atas normal. Pusaran angin akan membelokkan angin dari tenggara ke arah utara dan timur laut.

Wilayah Jawa dan Sumatera bagian selatan masih terdampak pusaran angin hingga terbentuk intensitas awan hujan yang tinggi. Menurut Hariadi, Sumatera bagian utara juga berpotensi turun hujan, tetapi pembentukan awan lebih terdampak pusaran di Samudra Hindia wilayah Teluk Benggala, India.

Ahli oseanoklimat dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Wahyu Widodo Pandoe, mengatakan, pemantauan dinamika kelautan di Samudra Hindia masih perlu dioptimalkan untuk meningkatkan akurasi dalam memprediksi iklim dan cuaca di Indonesia. Kemarau basah tahun ini belum mampu diprediksi jauh hari sebelumnya.

"Ada Indian Ocean Dipole (IOD) dan Osilasi Madden-Julian (MJO) yang cukup penting untuk dipantau di wilayah Samudra Hindia,” kata Wahyu.

IOD semacam pergerakan kolam panas juga terjadi di Samudra Pasifik yang menyebabkan fenomena La Nina dan El Nino. MJO menjadi fenomena osilasi atau gelombang angin di ekuator Samudra Hindia yang memperkuat hujan berulang secara periodik 40 hari sampai 60 hari. (NAWA TUNGGAL/KOMPAS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com