Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

RUU Baru Berpotensi Meminggirkan Masyarakat Adat

Kompas.com - 26/03/2013, 15:37 WIB
Fifi Dwi Pratiwi

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Salah satu masalah hutan yang menjadi perhatian adalah tingginya laju deforestrasi. Menghadapi masalah tersebut, DPR RI melalui Komisi 4 berinisiatif untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan tentang Pemberantasan Pengerusakan Hutan (P2H).

Akan tetapi, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Indonesia Corruption watch (ICW), HuMa, KPA, Sawit Watch, dan Telapak, yang tergabung dalam Koalisi Anti Mafia Hutan, mengatakan bahwa adanya peraturan perundang-undangan tersebut justru berpotensi memperkeruh keadaan.

"Adanya RUU P2H ini berpotensi akan memperkuat posisi perusahaan-perusahaan perusak hutan dan mengkriminalisasi masyarakat, khususnya masyarakat adat yang selama ini berjuang mempertahankan hak mereka dalam bentuk hutan ulayat dan hutan adat," kata Dede Shineba, Deputi Advokasi Kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria saat menyampaikan pandangannya dalam konferensi pers menanggapi rencana pengesahan RUU Pemberantasan Pengerusakan Hutan (P2H), Selasa (26/3/2013), di Jakarta.

Dede mencontohkan, masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan memanfaatkan hasil hutan untuk keperluan sehari-hari mereka seperti memperbaiki pagar, bangunan, dan sebagainya. Kelompok masyarakat ini yang rentan menjadi sasaran kriminalisasi dalam RUU yang diagendakan akan dibawa ke sidang paripurna DPR tanggal 4 April 2013.

"Jika masyarakat memanfaatkan hasil hutan tanpa ada ijin dan dilakukan secara bersama-sama, sedikitnya 2 orang, masyarakat itu sudah bisa ditindak pidana karena mereka termasuk kategori pembalak hutan menurut RUU P2H," ujar Deddy Ratih, National Executive Walhi.

Deddy menjelaskan, definisi pembalakan liar yang tercantum dalam RUU P2H adalah semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah dan terorganisasi. Adapun yang dimaksud terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok terstruktur yang terdiri atas 2 orang yang bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu.

Berdasarkan dari data Kementerian Kehutanan yang dilansir oleh Koalisi Anti Mafia Hutan, saat ini ada 8.662 desa seluas 28.456.324 ha yang berbatasan dengan hutan, dan 1.500 desa dengan luas 11.135.011 ha yang ada di dalam hutan. Masyarakat di desa-desa inilah yang berpotensi menjadi "korban", seandainya RUU ini jadi disahkan, menurut pandangan Dede.

Lebih lanjut, menurut Deddy, keadaan ini berbeda signifikan dengan perusahaan-perusahaan besar. Dengan adanya RUU ini, perusahaan-perusahaan besar di sektor pertambangan dan perkebunan akan semakin sulit tersentuh tindakan hukum. Karena mereka adalah perusahaan yang memiliki ijin, dan dalam aturan ini, yang memiliki ijin cukup leluasa untuk memanfaatkan hasil hutan, meski sebatas ijin eksplorasi. Artinya, eksploitasi sah. Itu karena definisi ijin yang diatur dalam RUU ini belum jelas.

Dede dan Deddy mengatakan, pembuatan RUU ini sebetulnya tidak perlu dilakukan. Menurut mereka, upaya menyelesaikan masalah kehutanan seperti pembalakan liar dapat diatasi dengan melakukan revisi Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com