YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Varian baru virus flu burung yakni clade A1 (2.3.2.1) ditemukan di Indonesia akhir-akhir ini. Kelompok virus ini lebih ganas dari kelompok virus sebelumnya yakni clade A1 H5N1 (2.1)
"Di Indonesia virus ini baru terdeteksi pada tahun 2012 dengan sejumlah kasus kematian mendadak pada itik di berbagai daerah di Indonesia," papar Veterinary Epidemiologist Balai Besar Veterinet Wates Yogyakarta, Putut D.Purnomo, dalam jumpa pers "Isu Flu Burung Pada Itik," di UGM, Rabu (26/12/2012).
Putut menjelaskan pihaknya menerima laporan dari Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta bahwa terdapat kematian itik secara mendadak dalam jumlah besar dalam empat bulan terakhir ini. Berdasarkan data Balai Besar Veterinet Wates Yogyakarta, jumlah kematian itik di tiga provinsi tersebut mencapai 113.700 ekor.
Berdasarkan uji laboratorium, penyebab kematian itik di antaranya terjadi infiltrasi limfosit dalam jumlah tinggi pada otot jantung, peradangan akut pada otak, kornea mata yang memutih, serta perubahan fisik lainnya. Setelah uji coba infeksi virus AI, gambaran patologis menunjukkan bahwa kematian ini akibat infeksi virus AI.
Masuknya virus ini diduga dari perdagangan impor serta migrasi burung liar. "Bebek peking salah satunya kami duga menyebarkan virus ini. Bebek jenis ini sedang naik daun dan banyak diburu orang untuk dikonsumsi," tambah Putut.
Selama ini, Pulau Jawa menjadi daerah terbesar penyebaran virus baru H5N1 ini. Dimungkinkan akan berkembang terus karena perdagangan itik di Indonesia tinggi.
Mengingat belum adanya vaksin untuk kelompok virus baru ini, ia berharap peternak itik lebih melakukan tindakan preventif. Di antaranya menjaga kebersihan kandang, pemusnahan terbatas, serta disinfektan.
Ia pun menambahkan, ada kemungkinan kelompok virus baru ini menyerang unggas lain serta manusia. Namun, dugaan ini masih membutuhkan uji laboratorium lagi.
Guru Besar Virologi Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM Widya Asmara mengatakan, virus flu burung kelompok ini biasanya menyerang unggas liar di daratan Asia. Pada 2010, virus jenis ini ditemukan di Nepal kemudian ke India, lalu ke Cina, serta Jepang.
Virus ini kemudian mewabah hingga Asia dan Desember merebak di Indonesia. "Virus ini bukan mutasi dari kelompok virus sebelumnya (2.1)," kata Widya
Penularan virus ini bisa terjadi ketika burung melakukan migrasi saat musim dingin. Perdagangan itik yang tidak terdeteksi pun bisa membawa virus baru tersebut.
Ciri unggas yang terserang adalah lemas, matanya keputihan, sering berputar-putar, dan mati mendadak. Kebanyakan itik muda. Hingga saat ini pemerintah Indonesia belum memiliki vaksin untuk flu burung jenis ini.
Sebagai pencegahan, peternak bisa melakukan pemusnahan terbatas, dekontaminasi, serta memperketat pengawasan perdagangan unggas dari daerah yang terinfeksi. "Kalau hanya dengan fogging, hanya merupakan langkah pembasmian nyamuk dewasa bukan virus," katanya.
Ketua Himpunan Peternak Unggas Lokal Provinsi Daerah Istimwa Yogyakarta Ismartoyo, tak menampik bila sebagian besar unggas mati mendadak akibat virus tersebut.
"Sebagian besar kematian berada di daerah pinggir pantai. Jumlahnya mencapai 4.700 ekor," tambahnya.
Diakuinya, virus flu burung yang menyerang itik di DIY dibawa dari Jawa Timur karena suplai telur untuk penetasan berasal dari daerah tersebut. Setiap harinya, peternak DIY mendatangkan delapan ton telur itik dari Blitar dan Kediri.
(Olivia Lewi Pramesti/National Geographic Indonesia)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.