Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jangan Langgar Zona Bahaya Anak Krakatau

Kompas.com - 07/09/2012, 13:58 WIB
Ahmad Arif,
Yulvianus Harjono

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono menyatakan, staf Balai Konservasi Sumber Daya Alam Lampung, peneliti asing, dan wartawan yang menerobos ke zona bahaya Anak Krakatau melanggar peraturan Pemerintah Republik Indonesia.

”Anak Krakatau masih berstatus Waspada sampai saat ini. Kami merekomendasikan tak boleh ada aktivitas apa pun dalam radius 1 kilometer dari titik letusan,” kata Surono, Kamis (6/9/2012).

Ia meminta pekerja media tak memberi contoh buruk dengan melanggar zona bahaya. Apalagi, sejumlah wartawan pernah menjadi korban gunung api karena melanggar zona bahaya, seperti pada letusan Merapi tahun 2010. ”Penetapan zona bahaya Anak Krakatau dilakukan Pemerintah RI untuk melindungi rakyatnya dan siapa saja dari bahaya gunung api,” katanya.

Rabu lalu diberitakan, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Lampung, sejumlah peneliti asing, dan wartawan berada di Anak Krakatau, di antaranya Edward Gramsch yang mengaku dari Geo Research Volcanedo, Jerman.

Ia berada di Anak Krakatau sejak Minggu untuk mengamati letusan dan mengambil contoh bebatuan. Selama di sana terjadi lontaran material abu vulkanik hingga sekitar 2 km, yang memunculkan dugaan letusan kali ini bersifat vulkanian.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), menurut Surono, tak menjalin kerja sama dengan peneliti dari Geo Research Volcanedo. ”Izin penelitian di Menristek,” katanya.

Surono mengingatkan para peneliti asing agar menaati aturan di Indonesia. ”Jika peneliti kita ke luar negeri, misalnya ke Jerman, lalu masuk ke daerah terlarang atau yang dinyatakan bahaya oleh Pemerintah Jerman, apakah bisa? Kalau ketahuan pasti mendapat sanksi,” ujarnya.

Koordinator Tim Pengawas Gunung Anak Krakatau dari BKSDA Lampung Nainggolan menyatakan tidak bisa mengusir pengunjung. Ia hanya mengimbau agar gunung ini tidak dikunjungi dulu karena statusnya masih Waspada.

Sejumlah petugas BKSDA juga tak bisa menolak ketika diminta mengantar sekitar 10 wartawan yang datang dari Lampung untuk melihat seismograf yang rusak akibat letusan. Mereka lalu mendaki Anak Krakatau hingga sekitar 700 meter dari pos. Pada pendakian ini, sejumlah staf BKSDA memadamkan cemara laut di lereng yang terbakar.

Suksesi ekologi

Ahli suksesi ekologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Tukirin, mengkritik upaya pemadaman kebakaran hutan di Anak Krakatau. Pemadaman itu mengganggu proses suksesi ekologi yang berlangsung alamiah di gunung itu. ”Dengan dipadamkan, pengaruh letusan terhadap ekologi sudah terpengaruh tindakan manusia,” kata Tukirin, yang 30 tahun meneliti Krakatau.

Bagi kalangan ilmuwan dunia, Anak Krakatau merupakan laboratorium alam yang sangat penting untuk mempelajari proses suksesi ekologi. Pemusnahan tumbuhan karena letusan gunung api dan pertumbuhan baru dicatat dan dipelajari sejumlah ilmuwan untuk mengetahui bagaimana alam memulihkan diri.

Tukirin juga mengatakan, letusan Anak Krakatau kali ini cukup besar. ”Saya sempat di sana sesaat sebelum meletus dan melihat aliran lava ke arah tenggara,” tuturnya. Begitu Anak Krakatau meletus, ia meninggalkan pulau gunung api itu.

Besarnya letusan juga sempat meresahkan warga Lampung. Gunawan, staf Badan Penanggulangan Bencana Daerah Lampung, meminta PVMBG menurunkan tim untuk memeriksa dampak letusan. ”Saya menyesalkan PVMBG yang membantah bahwa hujan abu di Lampung bukan dari Anak Krakatau. Tidak mungkin ini dari kebakaran hutan,” ujarnya.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com