JAKARTA, KOMPAS.com — Dalam konferensi pers yang diadakan hari ini (1/6/2011) di Crisis Center Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, terungkap bahwa Jakarta memang tak memiliki potensi menjadi pusat gempa. Jakarta hanya mungkin mengalami goncangan akibat aktivitas seismik di pusat gempa luar Jakarta.
Terungkap bahwa jika gempa bermagnitudo 8,7 terjadi akibat aktivitas megathrust Selat Sunda, Jakarta akan mengalami goncangan sebesar 0,11 G. Goncangan sebesar itu bisa mengakibatkan kerusakan pada bangunan yang tak tahan gempa, sementara tak akan mengakibatkan bangunan yang bagus runtuh.
Oleh karena itu, sebagai antisipasi terhadap goncangan akibat gempa, konstruksi bangunan yang tahan gempa perlu dilakukan. Cecep Subarya, peneliti dari Bakosurtanal, mengatakan bahwa izin pendirian bangunan harus sesuai dengan building code.
"Perlu diingat, goncangan gempa tidak pernah mengakibatkan kematian. Kematian terjadi akibat runtuhnya bangunan, jadi masalah bangunan harus diperhatikan," katanya. Ia menambahkan, upaya konstruksi bangunan tahan gempa ini adalah tugas Kementerian Pekerjaan Umum.
Prof Masyhur Irsyam, PhD, staf Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB, mengungkapkan bahwa jika memenuhi standar, bangunan di Jakarta sebenarnya aman dari gempa. Menurutnya, definisi aman berarti bahwa ketika goncangan besar terjadi, bangunan akan tetap mengalami kerusakan, tetapi tidak akan runtuh.
"Kalau gempa yang terjadi sebesar 8,7 skala Richter, goncangan di batuan dasar sebesar 0,11 G. Standar Jakarta yang lama itu 0,15 G, sementara yang baru 0,2 G. Jadi, standar ini lebih dari goncangan yang diperkirakan terjadi," tutur Masyhur.
Mikrozonasi
Lebih lanjut, Masyhur mengatakan bahwa Jakarta dan kota-kota besar lain juga perlu melakukan pemetaan mikrozonasi. Langkah ini perlu dilakukan untuk mengetahui aktivitas seismik sekaligus memprediksi kerusakan yang mungkin terjadi di wilayah yang lebih spesifik. Mikrozonasi penting sebab meskipun potensi goncangan di batuan dasar sama, goncangan yang terjadi di permukaan bisa berbeda, bergantung pada karakteristik tanah. Menurut Masyhur, jenis tanah tertentu bisa mengamplifikasi goncangan hinggga dua kali lipatnya.
"Karena pengaruh tanah, goncangannya bisa lebih besar. Sebagai contoh Jakarta Utara itu goncangannya di permukaan bisa dua kali lipat. Kalau di batuan dasarnya 0,11 G misalnya, di permukaan bisa 0,22 G," ungkap Masyhur. Dengan adanya mikrozonasi, perencanaan yang lebih matang bisa dilakukan untuk mengantisipasi bencana.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.