Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Malapetaka di Depan Mata

Kompas.com - 07/12/2009, 06:55 WIB

 

JAKARTA, KOMPAS.com - Malapetaka akibat pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim mengancam semua makhluk tanpa kecuali. Sebagai salah satu upaya menghindarkan petaka tersebut, mulai hari ini, Senin (7/12), utusan lebih dari 190 negara mulai berunding dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen, Denmark.

Pada Pertemuan Para Pihak Ke-15 (COP-15) Konferensi Perubahan Iklim PBB (UNCCC) ini akan berlangsung negosiasi untuk mencapai kesepakatan baru sebagai pengganti skema Protokol Kyoto yang akan berakhir masa berlakunya pada 2012. Sebanyak 145 negara meratifikasi Protokol Kyoto yang disetujui pada 1997.

Fenomena pemanasan global, menurut pakar agroklimatologi yang juga reviewer emisi karbon negara-negara maju dalam Annex I, Rizaldi Boer, sudah terjadi di Indonesia.

Pendapat senada dinyatakan Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Edvin Aldrian di Jakarta, Sabtu (5/12).

Menurut Edvin, pemanasan global di antaranya terlihat dari perubahan suhu permukaan di seluruh wilayah di Indonesia.

Berdasarkan data dari BMKG tentang perubahan suhu minimum dan maksimum yang terpantau pada 1980-2002 di 33 stasiun pemantau, kenaikan tertinggi perubahan suhu maksimum di Denpasar, Bali, sebesar 0,087 derajat celsius per tahun. Sementara kenaikan tertinggi perubahan suhu maksimum ada di Polonia, Medan, Sumatera Utara, sebesar 0,172 derajat celsius.

”Besarannya berbeda di setiap kota,” ujar Edvin. Kenaikan suhu merupakan kecenderungan yang sedang dihadapi dunia.

Sejumlah bukti ilmiah menunjukkan, kenaikan suhu global pada abad ke-21 diperkirakan 2-4,5 derajat celsius akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.

Di Indonesia, perubahan itu terasa pada panjang pendeknya musim hujan atau kemarau. Secara umum, perubahan iklim berdampak pada musim hujan memendek, sebaliknya musim kemarau semakin panjang.

Di bidang pertanian, hal itu berdampak langsung pada hasil panen. ”Gagal panen dalam sepuluh tahun terakhir kian sering,” kata Rizaldi, yang juga dosen sekaligus Direktur Pusat Pengelolaan Risiko dan Peluang Iklim Kawasan Asia Pasifik (CCROM SEAP) IPB.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com