Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cadangan Gambut Indonesia Capai 34 Gigaton

Kompas.com - 29/05/2009, 22:46 WIB

NUSA DUA, KOMPAS.com - Indonesia memiliki cadangan karbon gambut nasional sebanyak 34 gigaton dan terbanyak di Provinsi Riau dan Pulau Kalimantan. Demikian dikatakan Peneliti Senior Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), Daniel Murdiyarso.

"Sebut saja cadangan, bagian dari cadangan yang terlepas menjadi emisi gas rumah kaca dengan laju sekitar 2,4 gigaton per tahun. Bisa dibayangkan peran besar hutan gambut tropis Indonesia," katanya di Nusa Dua, Bali, Jumat (29/5). Murdiyarso berada di Bali sebagai salah satu pembicara dalam Kemitraan Kehutanan Asia (AFP) Kedelapan, di Bali.

AFP kali ini mendiskusikan dan mencarikan mekanisme pengurangan GRK (gas rumah kaca) yang disumbang dari perusakan dan alih fungsi hutan dunia. Skema pembayaran dan pengawasan gas karbon dunia terkait perusakan dan alih fungsi hutan menjadi satu isu penting yang dibicarakan dalam pertemuan itu. CIFOR mengajukan beberapa alternatif sebagai penentu parameter pengukur tentang hal itu, yang bisa diaplikasikan seluruh negara secara mudah dan cepat.

Di Kalimantan, terdapat 10.183 gigaton cadangan karbon nasional yang terserap di dalam hutan gambutnya. Di seluruh pulau terbesar ketiga di dunia itu, terdapat 5.769.246 hektare hutan gambut, terluas di Provinsi Kalimantan Timur, yaitu 3.010.640 hektare.

Emisi gas rumah kaca yang berasal dari perusakan dan pengubahan fungsi hutan diketahui menyumbang sekitar 20 persen terhadap pemanasan global yang kini telah mencapai tiga derajat celcius selama 20 tahun terakhir. Untuk menurunkan temperatur bumi secara global, seluruh negara bersepakat untuk menurunkannya melalui beberapa skema, di antaranya pembatasan perusakan dan alih fungsi hutan. Hutan hujan tropis merupakan penyumbang utama penyimpanan cadangan karbon dunia.

"Pengurangan GRK merupakan satu langkah awal yang bagus di skala global. Yang perlu dikawal sekarang adalah menjaga kepatuhan suatu negara dalam hal pembayaran dan menjaga cadangan karbon ini, baik dari sisi negara maju atau negara berkembang yang masih memiliki banyak hutan," ujar Mundiyarso.

Dalam berbagai forum tentang pembatasan dan pengurangan GRK internasional, disepakati skema yang dinamakan karbon kredit. Kredit dari pengurangan emisi atau pencegahan deforestasi, bisa diperdagangkan dalam pasar karbon internasional.

Cara lain adalah dengan mendapat kompensasi karbon melalui mekanisme pendanaan internasional. Secara lebih teknis, cara ini dengan membiayai negara yang perpartisipasi dalam program global ini untuk melestarikan hutan.

Dasar pemikirannya adalah pengurangan GRK akan lebih meletarikan hutan karena lebih kompetitif secara ekonomi bagi negara yang masih memiliki hutan. Diharapkan, melalui skema ini, laju perusakan dan alih fungsi hutan bisa dikalahkan oleh dampak positif dari berbagai aspek jika hutan itu bisa lebih lestari.

Gubernur Kalimantan Tengah, Teras Narang, yang menjadi pembicara dalam forum internasional itu, menyatakan, pihaknya bekerja sama dengan berbagai pihak saat ini sedang berusaha mengembalikan fungsi ekologi dari bekas lahan proyek lahan padi di Kalimantan Tengah.

Lahan itu kini diperbaiki secara ekologis tanpa menduakan fungsi ekonomisnya sebagai lahan cadangan pangan provinsi di Kalimantan itu. Salah satu pertimbangan utama, lahan gambut merupakan bahan organik yang sangat rentan terbakar jika berada dalam keadaan kering.

Pada 2008, tercatat 2.000 titik api di Kalimantan Tengah, menurun dibandingkan 40.000 titik api pada 2006. Hingga menjelang pertengahan 2009, titik api yang menjadi salah satu penyumbang penting emisi GRK di Kalimantan Tengah, tercatat hanya 1.609 titik.

"Kami terus menyempurnakan metoda pencegahan dan penanggulangan titik api. Sekali lahan gambut terbakar, bukan cuma terbakar di permukaan tanah saja karena dia tetap terbakar di bawah tanah yang tidak kelihatan mata," kata Narang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau