Oleh Helena F Nababan
"Bakau masih diupayakan ditanam di tempat kemarin. Namun, sekarang hampir semua wilayah pesisir sudah menjadi milik pengusaha keramba. Jadi kita harus kerja sama." Itulah pesan singkat dari Yulianti, ibu guru yang giat menggerakkan siswa SDN di Pulau Puhawang, perairan Teluk Lampung, menanam bibit bakau di kawasan yang sudah rusak.
Meski hutan bakau penting bagi ekosistem pulau dan pesisir, serta masyarakat desa Pulau Puhawang, pesan singkat itu menunjukkan Yulianti masih harus berupaya keras mengajak warga desa Pulau Puhawang untuk menjaga dan melestarikan hutan bakau lewat pendidikan lingkungan kepada anak didiknya.
Di desa Pulau Puhawang, Kabupaten Pesawaran, Lampung, Yulianti atau Ibu Guru Iyung, panggilannya, justru menemukan dunia mengajar dari kegiatannya sebagai aktivis lingkungan hidup pada tahun 1995.
Sebelum menjadi guru, ia bergabung dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) Mitra Bentala yang fokus pada penyelamatan dan pengelolaan pesisir. Tahun 1995 pula dia lulus dari Jurusan Perkebunan Politeknik Universitas Lampung.
Sejak bergabung dengan Mitra Bentala, Iyung aktif mendatangi pesisir dan pulau-pulau di perairan Lampung. Setiap kali datang ke pulau, ia prihatin dengan kondisi pesisir yang tak terurus. Masyarakatnya pun tak peduli pada kesehatan dan kelestarian lingkungan, serta cenderung abai pada pendidikan.
Fakta itu menggugahnya, apalagi saat ia bekerja di Pulau Puhawang pada 1997. Ia lalu mendalami kondisi pesisir di pulau seluas 1.020 hektar itu. Seharusnya pantai yang berpasir putih dan relatif tenang perairannya itu bisa menjadi obyek wisata. Tempat ini juga cocok untuk budidaya keramba jaring apung kerapu.
Namun, hutan bakau di pulau itu rusak atau malah habis, pulaunya pun kotor. Rupanya warga desa Pulau Puhawang memperlakukan laut sebagai ”tong sampah” dan berperilaku hidup tak sehat.
"Mereka suka membuang hajat sembarangan," ujar Iyung. Warga desa seolah tak peduli, pulau mereka bersih atau kotor.
Bahkan, saat harga kayu bakau sangat menjanjikan, demi rupiah yang bakal diterima, warga bersemangat membabat habis hutan bakau. Mereka tak menyadari, hutan bakau tumbuh untuk menjaga pesisir pulau dari hantaman gelombang. Tahun 1975-1996 adalah kurun waktu rusaknya 141 hektar hutan bakau di pulau ini.
"Itu menjadi tantangan buat saya, kenapa warga bisa bertindak dan berperilaku tak sehat seperti itu?" ujarnya.