KOMPAS.com - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan lembaga penggiat lingkungan lainnya sedang kaget dan geram pada pemerintah.
Pasalnya, pada Rabu (25/9/2019), mereka mendapatkan informasi bahwa RUU Mineral dan Barubara (Minerba) telah disahkan. Padahal, sebelumnya pemerintah mengumumkan akan menunda RUU Minerba.
Akibat kejadian ini, WALHI dan sejumlah instansi lingkungan non-pemerintah lainnya menyatakan diri untuk menolak RUU Minerba yang isinya dinilai masih mengandung banyak kekeliruan yang merugikan masyarakat.
Bahkan, dinyatakan oleh perwakilan Jaringan Advokasi Tambang, Merah Johnson, dari Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) hampir 90 persen isi dari RUU tersebut berpihak kepada pengusaha bukan kepada masyarakat.
Baca juga: Penambahan PLTU Batubara Bisa Sebabkan Kematian Dini Meningkat Drastis
DIM merupakan penyusunan butir-butir yang terkait dengan Rancangan Undang-undang (RUU). Jika suatu RUU adalah inisiatif DPR, maka yang bertugas menyusun DIM adalah Pemerintah bukan dari pihak DPR.
"Komposisinya masih 90 persen berada pada kepentingan pengusaha dan investor. Kita tidak melihat ruang harmonisasi bagi rakyat, tidak ada komposisi bagi rakyat ataupun hak veto rakyat tidak dipertimbangkan dalam hal ini," kata Merah di Jakarta, Kamis (26/9/2019).
Selain itu, tidak ada pasal yang mengatur hak-hak masyarakat adat dalam RUU Minerba. Padahal, di Indonesia masih banyak daerah yang memiliki pengaturan adat terhadap wilayah mereka tinggali.
Banyak poin di dalam DIM yang disorot oleh oleh para pegiat lingkungan. Salah satu di antaranya yaitu pasal 106, yang secara sederhananya dijelaskan oleh Merah sebagai diberikannya insentif fiskal dan non-fiskal kepada perusahaan yang mengelola mineral dan batubara.
Baca juga: Di Balik Terang Lampu, Menyingkap Sisi Kelam PLTU Lewat “Sexy Killers”
"Ini kan artinya didukung tuh para pengusaha ataupun investor yang mau buka lahan usaha tambang batubara. Padahal, seharusnya ditekan yang begitu itu, karena sebenarnya kan ada RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) penggunaan batubara itu dikurangi," ujarnya.
Dampaknya, selain kepada sumber daya alam di Indonesia sendiri, masyarakat di sekitar wilayah pertambangan juga akan ikut terpengaruh.
Selanjutnya adalah pasal 116 dan 162, yaitu siapa saja yang menghalangi pertambangan akan dianggap sebagai orang yang melakukan tindak kriminal. Padahal, menurut Advokat Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Ariyanto Nugroho, yang dirugikan dan berupaya untuk memprotes pembukaan tambang adalah masyarakat sekitar.
Sementara dari data yang didapatkan oleh WALHI, kata Dwi Saung mewakili WALHI, instansi pemerintah yang terkait pengesahan RUU Minerba tersebut tidak semuanya hadir dan ikut menandatangani pengesahan karena memang ada hal yang tidak relevan dan harus dibenahi.
"Berbicara tentang RUU Minerba itu tidak bisa berdiri sendiri, harusnya ada sinkronisasi dengan DPR, pemerintah, masyarakat terkait juga. Bukan cuma cukup dengan akademisi dan pengusaha saja, karena banyak pasal yang bermasalah dengan eksploitasi di lapangan," tutur Dwi.
Baca juga: Jokowi Reklamasi Lubang Tambang Jadi Kolam Ikan, Ini Pendapat Ahli
Pada intinya, dijelaskan oleh Advokat Auriga Nusantara, Hendrik Siregar, yang diinginkan untuk ditunda oleh pemerintah, DPR dan presiden adalah pembahasan atau isi yang terkandung di RUU tersebut.
"Padahal, sudah jelas dikatakan ditunda. Maksud keinginan kami itu pembahasan isinya yang ditunda karena ada yang harus dibenahi, bukan dibahas sendiri lalu asal mengesahkan saja," ujarnya.
Para pegiat lingkungan pun sepakat untuk menolak pengesahan RUU Minerba dan meminta isi pembahasan dalam RUU tersebut dikaji ulang dengan melakukan survei langsung terhadap masyarakat yang akan terkena imbasnya.
"Ya mana bisa pengesahannya saja dilakukan di malam hari, hanya dikepalai oleh Sekretaris Jendral tanpa ada Menteri (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia), dan ada instansi yang tidak tanda tangan bahkan tidak hadir karena memang enggak sesuai, salah satunya Kementerian Perindustrian," imbuhnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.