Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bisa Dicegah dan Obatnya Gratis, Kok Kusta Masih Ada di Indonesia?

Kompas.com - 09/09/2019, 18:06 WIB
Ellyvon Pranita,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Penyebaran bakteri penyakit kusta (Morbus Hansen), Mycobaterium leprae, dapat dicegah. Obatnya juga sudah diberikan secara gratis oleh WHO sesuai jumlah penderitanya. Lantas, kenapa kasus penderita kusta masih saja terus bermunculan di Indonesia?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Kompas.com menemui Ketua Kelompok Studi Morbus Hansen Indonesia Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia, Dr. dr. Sri Linuwih Susetyo Wardhani Menaldi, SpKK(K), di ruang kerjanya, RSCM, Selasa (3/9/2019).

Dokter Dini, sapaan akrab dokter sekaligus dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu, mengatakan bahwa ada beberapa hal yang menjadi pola dasar kenapa penyakit kusta, meski sudah diketahui penyebabnya dan sudah ada obatnya, masih bermunculan di Indonesia.

Gejalanya menyerupai penyakit lain dan terlambat dideteksi

Penyakit kusta memiliki gejala yang mirip dengan berbagai penyakit lainnya, seperti panu, biduran, eksim, gangguan saraf, bahkan stroke.

Baca juga: 3 Cara Mudah Mendeteksi Dini Kusta agar Tidak Sampai Cacat

Oleh sebab itulah, gejala kusta seringkali luput dari pengamatan atau diagnosis awalnya bukan kusta. Akibatnya, kusta sering kali baru didiagnosis ketika sudah parah dan pasien harus dirujuk ke rumah sakit lain yang bisa mengatasinya.

"Ada memang yang datang ke puskesmas, misalnya. Sudah berobat tapi masih belum sembuh juga. Eh ternyata dugaan awalnya itu penyakit lain. Pada akhirnya, setelah diperiksa detail lagi, baru ketahuan kalau itu kusta," tutur dr. Dini.

Selain itu, karena gejala kusta tidak selalu tampak jelas di kulit dan bisa terjadi di berbagai organ tubuh lainnya, seperti saraf yang mati rasa, mata, atau bahkan tulang, maka penderita yang tidak mengetahuinya biasa menggunakan obat sesuai dengan gejala pada organ yang tampak saja.

"Banyak pasien kalau datang ke dokter atau rumah sakit itu bukan mau periksa kusta, tapi kadang mereka periksa alergi katanya, atau bahkan ada yang periksa ke dokter saraf karena enggak bisa gerak, atau ada juga bahkan yang ke dokter mata dulu, barulah diketahui akhirnya bahwa itu penyakit kusta yang terjadi pada mereka," imbuh dr. Dini.

Masalah kemudian diperkeruh dengan banyaknya prosedur dalam proses perujukan rumah sakit.

"Nah, waktu melengkapi prosedur itulah, bisa jadi kusta yang diderita itu (misalnya tipe multibasiler) sebenarnya sudah menular ke orang lain secara tidak diketahui sehingga akhirnya akan muncul kasus baru," tutur dr. Dini.

Baca juga: Mengenal Tipe Kusta pada Tubuh dan Karakteristiknya

Tidak terasa sakit dan terlambat diobati

Selain terlambat dideteksi, kusta juga sering terlambat diobati karena gejala awal kusta yang biasanya berupa bercak putih seperti panu atau bercak kemerahan yang berukuran sebesar koin hingga selebar telapak tangan tidak sakit atau gatal. Malah, kelainan pada kulit kusta cenderung mati rasa atau baal.

"Karena gejala yang ada itu biasanya tidak sakit, makanya banyak masyarakat yang menganggap itu tidak jadi masalah besar. Ya selama menurut mereka enggak ganggu aktivitas mereka saja. Kalau sakit, nah baru banyak yang periksa," kata dr. Dini.

Padahal bila sudah parah, kusta membutuhkan waktu pengobatan yang lebih lama dan bisa menyebabkan cacat tubuh yang permanen. Apalagi jika penderita kusta mengalami komplikasi terhadap gangguan penyakit yang lain.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com