Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Awas Jangan Konsumsi Buah dan Sayur dengan Cara Dijus, Ini Alasannya

Kompas.com - 15/08/2019, 18:02 WIB
Retia Kartika Dewi,
Resa Eka Ayu Sartika

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Memiliki tubuh sehat dan fit merupakan dambaan tiap orang. Sementara untuk memperoleh bentuk tubuh yang sehat diperlukan usaha, seperti makan makanan sehat, olahraga, dan menjaga pola tidur yang baik.

Selain itu, beberapa orang juga membekali diri dengan nutrisi dan vitamin dari buah-buahan. Tetapi, buah-buahan yang mereka konsumsi cenderung dibuat dengan versi jus atau diambil sari-sarinya saja.

Menanggapi hal itu, dokter ahli nutrisi, dr Tan Shot Yen mengatakan bahwa sebaiknya buah dimakan dalam bentuk aslinya, bukan dalam bentuk jus.

"Buah dan sayur memiliki kandungan gula yang terikat dengan serat. Serat ini punya fungsi kontrol, agar proses mencerna makanan berlangsung bertahap (3 jam), jika serat ini dirusak dengan proses jus atau blender, maka gula akan bablas diserap cepat sekali dan bikin lonjakan gula darah," ujar Tan saat dihubungi Kompas.com pada Kamis (15/8/2019).

Baca juga: Hanya Sesruput Jus dan Soda Tingkatkan Risiko Kanker Hingga 18 Persen

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 Kementerian Kesehatan, menunjukkan bahwa adanya kenaikan prevalensi penyakit tidak menular (PTM) jika dibandingkan dengan Riskesdas 2013.

Akibatnya timbul penyakit, seperti kanker, stroke, penyakit ginjal kronis, diabetes melitus, dan hipertensi.

Selain itu, dalam hasil Riskesdas 2018 juga disebutkan bahwa kenaikan prevalensi itu berhubungan dengan pola hidup antara lain, merokok, konsumsi minuman beralkohol, kurangnya aktivitas fisik, dan kurangnya konsumsi buah dan sayur.

Dari keempat hal tersebut, angka kurang konsumsi buah dan sayur menempati posisi tertinggi, yakni sebesar 93-95 persen.

Percepatan pencernaan

Tidak hanya bermasalah dengan kandungan gula dan serat yang menjadi lebih halus jika diblender, Tan mengungkapkan bahwa memakan buah dengan bentuk jus mempercepat pencernaan.

"Manusia mencerna makanannya melalui rentetan proses yang tidak bisa dilompati, mulai dari mengunyah, masuk ke kerongkongan, hingga tiba di lambung untuk melanjutkan proses cerna sebelum masuk ke usus halus," ujar Tan.

"Rangkaian tersebut selain membuat proses pencernaan punya waktu transit dan waktu cerna, oleh karena itu gula dalam karbohidrat dari sayur dan buah tidak akan lekas melonjak karena masih terikat dengan serat," lanjutnya.

Dengan adanya serat ini untuk mengikat gula dalam buah dan sayur, menyebabkan asupan buah dan sayur bisa mencegah PTM, seperti yang disebutkan sebelumnya.

Konsumsi buah per hari

Di sisi lain, Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) dan Badan Kesehatan Dunia (WHO), dalam situs resmi keduanya, merekomendasikan orang dewasa paling tidak mengonsumsi 400 gram sayur dan buah per harinya untuk mencegah PTM.

"Laporan WHO/FAO yang baru-baru ini dirilis, merekomendasikan minimal 400 gram buah dan sayuran per hari untuk pencegahan penyakit kronis, seperti penyakit jantung, kanker, diabetes, dan obesitas, serta pencegahan dan pengurangan beberapa defisiensi mikronutrien, terutama di negara-negara kurang berkembang," tulis laporan dalam situs resmi WHO.

Baca juga: Hati-hati, Konsumsi Jus Buah Ditemukan Dapat Memperpendek Usia

Sementara itu, ketika kita mengonsumsi buah secara langsung, maka buah akan mengalami perubahan warna menjadi kecoklatan.

Adapun proses itu disebut tereduksi.

"Ada beberapa buah yang cepat tereduksi, seperti apel atau pisang kan langsung, tapi bukan berarti enggak bagus lagi," ujar Tan.

Kemudian, ia pun memberikan tips jika mengonsumsi buah dengan bentuk asli dan bersisa sebaiknya direndam menggunakan air garam agar memperlambat proses oksidasi.

Selain itu, proses oksidasi juga bisa diperlambat juga dengan memasukkan buah sisa pada kulkas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com