KOMPAS.com - Mengikuti informasi terkini dengan membaca media sosial maupun situs berita kini jadi tuntutan. Apalagi dalam situasi rusuh seperti yang terjadi Rabu (22/5/2019) di di Jakarta.
Namun ada kalanya, terus menerus mengikuti informasi justru akan menghabiskan energi, lelah, emosi, stres, dan kadangkala terjebak oleh informasi palsu atau hoaks. Penting untuk mengikuti informasi secara efektif.
Sebuah survei yang dilakukan American Psychological Association, tentu saja di Amerika Setrikat, mengungkap bahwa mengikuti informasi tanpa henti justru menyakiti diri sendiri. Ini dialami oleh 1 diantara 10 responsen.
"Bagaimana informasi disajikan dan cara kita mengaksesnya telah berubah secara signifikan sejak 15 hingga 20 tahun terakhir. Perubahan ini kerap merusak kesehatan mental," ujar Graham Davey, profesor emeritus psikologi dari Universitas Sussex, Inggris, dilansir Time, (31/1/2018).
Davey yang juga menjadi pemimpin redaksi untuk Journal of Experimental Psychopathology menambahkan, infromasi di seluruh dunia cenderung dibuat bombastis sehingga bisa mengubah suasana hati menjadi sedih atau cemas.
"Studi kami menunjukkan, perubahan suasana hati dapat membuat penonton atau pembaca berita khawatir, meski kekhawatiran itu tidak berhubungan dengan informasi yang disiarkan," ujar Davey.
Ketika rasa cemas dan khawatir menumpuk, hormon kortisol yang berhubungan dengan stres akan memicu peradangan yang terkait dengan rheumatoid arthritis, penyakit kardiovaskular, dan penyakit serius lainnya.
Baca juga: Efek Gas Air Mata pada Tubuh dan Penanganannya
Jika paham bahwa informasi tertentu membuat cemas dan takut, kenapa kita masih membaca berita tersebut dan mengikuti perkembangannya?
Menurut Davey, itu karena otak manusia suka memperhatikan informasi yang membuat takut dan cemas. Konsep ini dikenal dengan bias negatif.
Loretta Breuning, mantan profesor manajemen di Universitas California, East Bay menjelaskan, otak manusia gemar mencari informasi yang "mengganggu" karena hal itu membantu untuk mendeteksi ancaman dan menghindari bahaya.
"Hal inilah yang membuat kita sulit mengabaikan berita negatif dan mencari hal positif. Otak manusia cenderung menjadi negatif, dan berita yang kita konsumsi mencerminkan hal ini," jelas Breuning.
Meski demikian, ahli lain mengatakan bahwa efek berita terhadap kesehatan mental bervariasi dari satu orang dengan orang lain.
"Berita bukan patogen menular seperti virus Ebola. Efek pemberitaan sangat rumit dan sulit memprediksi bagaimana orang merespons pemberitaan," ujar Chris Peter, seorang profesor media dan komunikasi di Aalborg University Copenhagen.
Peters mengatakan, kita tidak harus fokus pada jumlah informasi yang dibaca atau dilihat.
Jika dengan membaca informasi membuat diri sendiri menjadi tidak nyaman, mungkin kita perlu berhenti sejenak membacanya. Misalnya, cukup mencari informasi saat jam makan siang, pulang bekerja, atau sebelum makan malam.
Kita mungkin bisa juga mengikuti jejak Rochard Watson, seorang penulis dan futuris Inggris, yang mengumpulkan koran harian dalam satu minggu dan membacanya di akhir pekan.
Merujuk Quartz, (6/3/2018), dengan cara ini Watson mengaku dapat melihat pemberitaan dengan lebih relevan dan menempatkan setiap momen dalam konteks lebih besar, daripada hitungan hari.
Alih-alih fokus pada tema yang menjadi perbincangan banyak orang, Watson mencoba menangkap momen dan pemberitaan penting tanpa menjadi budak atas pemberitaan media yang berseliwean sepanjang hari.
Tetap sadar dan mendapat informasi adalah hal yang baik. Tetapi ketika menyangkut kesehatan Anda, terlalu banyak berita bisa menimbulkan masalah.
Baca juga: Tsunami Selat Sunda: Kenapa Masyarakat Lebih Suka Berita Duka Lara?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.